Jumat, 10 April 2009

Tidak Ilmiah

Kemampuan berpikir merupakan salah satu khasiat manusia. (Silakan lihat makalah Tentang Dunia.) Berpikir sendiri merupakan aktivitas yang sangat lazim sehingga seakan-akan untuk melakukannya tidak perlu "berpikir".

Tujuan berpikir yaitu mendapatkan kesimpulan. Dapat kita temukan bahwa kualitas berpikir itu beragam. Lumrahnya, makin terdidik seseorang, makin baik kualitas berpikirnya. Sementara itu, makin baik kualitas berpikir, makin baik kualitas kesimpulan. Inilah sebabnya banyak, kalau bukan semua, orang ingin belajar.

Walaupun belum tentu paham apa itu metode ilmiah, banyak yang beranggapan bahwa metode ilmiah merupakan metode paling sahih untuk mendapatkan kesimpulan. Anggapan ini bersumber dari digunakannya metode ilmiah dalam berbagai ilmu, terutama ilmu alam. Apakah memang benar bahwa metode ilmiah merupakan metode paling sahih untuk mendapatkan kesimpulan?


Scrutinizing Science

Dalam metode ilmiah, mula-mula dirumuskan apa masalah yang hendak disimpulkan. Setelah itu, diamati sejumlah peristiwa yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Peristiwa-peristiwa ini dinyatakan sebagai korelasi antara dua hal atau lebih. Kemudian, dibuatlah hipotesis untuk menjelaskan korelasi yang ditemukan. Hipotesis harus dapat diuji dan dinyatakan keliru. Selanjutnya, disusun percobaan atau pengamatan untuk menguji hipotesis. Dari pengujian, dapat disimpulkan apakah hipotesis yang dibuat dapat, atau tidak dapat, menjelaskan korelasi teramati.

Sebagai contoh yaitu masalah bentuk Bumi. Berbentuk apakah Bumi? Datarkah Bumi? Kotakkah Bumi? Untuk mengetahuinya, diamati peristiwa terbenamnya kapal di cakrawala. Korelasi yang ditemukan yaitu makin jauh kapal dari dermaga, kapal tersebut bukan hanya makin kecil, namun juga makin terbenam. Selain itu, ditemukan pula bahwa makin tinggi lintang posisi pengamatan, makin datar bidang edar harian bintang-bintang. Untuk menjelaskan dua korelasi ini, diusulkan hipotesis bahwa Bumi itu bulat. Hipotesis ini jelas dapat menjelaskan peristiwa terbenamnya kapal di cakrawala dan variasi kemiringan bidang edar harian bintang-bintang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar Bumi berbentuk bulat. Akan tetapi, tetap belum bisa dipastikan bagaimana bentuk Bumi.


Sensational Senses

Selain dengan metode ilmiah, kesimpulan juga bisa didapatkan dengan metode penginderaan. Metode ini dinamakan demikian karena memang menekankan aktivitas penginderaan. Metode ini jauh lebih sederhana, dan sebenarnya lebih mendasar, daripada metode ilmiah. Metode ini bahkan lebih sering dilakukan oleh banyak orang, namun sering tidak disadari keberadaannya karena sedemikian lumrahnya.

Dalam metode penginderaan, mula-mula dirumuskan apa masalah yang hendak disimpulkan. Kemudian, dilakukan penginderaan atas masalah yang dihadapi. Hasil penginderaan dikaitkan dengan informasi awal yang dimiliki. Pengaitan masalah dengan informasi awal akan menghasilkan kesimpulan mengenai masalah yang hendak disimpulkan.

Kembali sebagai contoh yaitu masalah bentuk Bumi. Berbentuk apakah Bumi? Datarkah Bumi? Kotakkah Bumi? Untuk mengetahuinya, dilakukan penginderaan atas permukaan Bumi. Penginderaan ini berupa penjelajahan daratan dan lautan. Hasil penjelajahan dicatat dalam bentuk peta. Selain telah memetakan seluruh daratan dan lautan, berabad-abad penjelajahan telah menunjukkan bahwa Bumi itu bulat. Inilah penginderaan tidak langsung. Hebatnya lagi, manusia telah mampu memotret Bumi dari jarak sekian jauhnya dari Bumi, cukup untuk menunjukkan bahwa Bumi itu bulat. Inilah penginderaan langsung. Baik dengan penjelajahan dan pemotretan ataupun cukup dengan salah satunya saja, bisa disimpulkan dengan pasti, sepasti-pastinya, bahwa Bumi itu bulat.


The Two Ways

Sebenarnya, metode ilmiah pun pasti melibatkan penginderaan. Dalam metode ilmiah, yang diindera yaitu korelasi antara dua hal atau lebih serta kesesuaian hipotesis dengan korelasi teramati. Jadi pada dasarnya, metode ilmiah merupakan turunan dari metode penginderaan. Dalam makalah ini, keduanya dibedakan karena kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan metode penginderaan, walaupun sering melakukannya.

Perbedaan antara metode penginderaan dan metode ilmiah yaitu pembuatan hipotesis dan apa yang diindera. Metode penginderaan sama sekali tidak melibatkan hipotesis, sementara hipotesis merupakan bagian tidak terpisahkan dari metode ilmiah. Dalam metode penginderaan, yang diindera yaitu masalah yang hendak disimpulkan. Jadi, hasil dari metode penginderaan yaitu kepastian pengetahuan atau ketidaktahuan. Sementara itu dalam metode ilmiah, yang diindera yaitu korelasi antara dua hal atau lebih serta kesesuaian hipotesis dengan korelasi teramati. Dengan demikian, hasil dari metode ilmiah yaitu kemungkinan mengenai sesuatu berdasarkan hipotesis terkait. Metode ilmiah tidak akan pernah dapat digunakan untuk memastikan sesuatu, meskipun dapat digunakan untuk memperbesar kemungkinan mengenai suatu hal. Dengan metode ilmiah saja, hipotesis tidak akan pernah dapat dibuktikan, melainkan hanya diperkuat terus-menerus.

Idealnya, memang sebaiknya kesimpulan, atau pengetahuan, didapat menggunakan metode penginderaan. Metode ilmiah digunakan karena adanya kesulitan dalam mengindera masalah yang akan disimpulkan. Dalam masalah bentuk Bumi, kesulitan penjelajahan atau pemotretan Bumi dihindari dengan mengindera korelasi antara jarak kapal dari dermaga dan makin terbenamnya kapal di cakrawala. Jelas bahwa penginderaan terbenamnya kapal merupakan hal yang jauh, jauh, sangat jauh lebih mudah dilakukan daripada penjelajahan atau pemotretan Bumi. Harga yang harus dibayar dari pemudahan penginderaan ini yaitu ketidakpastian kesimpulan pengetahuan.

Pada dasarnya, tidak ada yang lebih baik diantara metode penginderaan dan metode ilmiah. Keduanya saling melengkapi. Metode penginderaan memang mampu menghasilkan kesimpulan yang bersifat pasti yang dibatasi oleh cakupan penginderaan yang dilakukan, namun metode ilmiah dapat digunakan untuk memandu usaha penginderaan. Biasanya, metode ilmiah digunakan ketika teknologi penginderaan belum memadai.

Meskipun diantara metode penginderaan dan metode ilmiah tidak ada yang lebih baik, namun ada hal tertentu yang tidak layak dipecahkan dengan metode ilmiah, yakni perkara akidah, atau keimanan. Ini karena akidah mensyaratkan kepastian. Tidak boleh ada ketidakpastian dalam akidah meskipun kadarnya sangat, sangat renik. Akidah harus 100% benar. Inilah sebabnya hanya metode penginderaan yang layak digunakan untuk membina akidah. Tidak boleh ada hipotesis dalam pembinaan akidah; hanya penginderaan yang boleh dilakukan untuk membina akidah. (Tentang metode mantiq, metode lain yang lebih rendah kualitasnya dari metode ilmiah namun sering digunakan untuk membina akidah, silakan lihat makalah Percaya Nggak.)

Jumat, 03 April 2009

Islam Tidak Demokratis

Wah, cukup menyengat bukan judul tulisan ini? Ada banyak pihak yang mengatakan bahwa Islam itu domokratis, atau bahwa demokrasi itu Islami. Alasan yang sering dilontarkan yaitu bahwa Islam dan demokrasi memiliki ajaran musyawarah.

Dalam tulisan ini, ditunjukkan bahwa Islam itu sama sekali tidak demokratis, dan bahwa demokrasi itu sama sekali tidak Islami. Makna demokrasi itu lebih dari sekedar usaha menyelesaikan masalah dengan musyawarah.


Systemizing the Systems

Biasanya, dikatakan bahwa ada dua macam sistem pemerintahan di dunia, yakni demokrasi dan monarki. Sebenarnya, ada sistem ketiga, yakni sistem pemerintahan kekhilafahan. Sistem pemerintahan kekhilafahan sama sekali berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi ataupun monarki. (Paparan rinci mengenai sistem pemerintahan khilafah tidak akan dibahas dalam tulisan ini.)


Polemizing the Politics

Segala macam sistem pemerintahan tentu memiliki aspek-aspek praktis. Dari sekian banyak aspek praktis ini, bisa jadi ada beberapa aspek praktis dari suatu sistem pemerintahan yang serupa dengan aspek praktis sistem pemerintahan lain. Bentuk aspek-aspek praktis ini tidak akan pernah lepas dari aspek-aspek filosofis yang melandasi suatu sistem pemerintahan. Dengan demikian aspek-aspek filosofislah yang sebaiknya digunakan untuk membandingkan satu sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang lain.

Aspek filosofis pertama yaitu kedaulatan, atau otoritas penentuan standard benar-salah. Ini penting karena memang suatu sistem pemerintahan dibuat untuk mengatur masyarakat. Standard benar-salah dibutuhkan untuk mewujudkan keteraturan. Sebagai contoh, di Indonesia, telah ditentukan bahwa masa jabatan kepala negara yaitu lima tahun. Setelah berakhir masa jabatan kepala negara, harus diadakan suatu mekanisme untuk menentukan dan mengangkat kepala negara baru. Perkara seperti keharusan mengganti pemimpin secara berkala bukanlah perkara teknis, yang solusinya cukup sains dan teknologi; ini merupakan perkara non-teknis yang solusinya yaitu aturan, atau ketetapan, yang merupakan standard benar-salah. Tentang perkara teknis dan non-teknis serta solusinya, silakan lihat Tentang Manusia.

Aspek filosofis kedua yaitu kekuasaan, atau otoritas penerapan standard benar-salah. Ini penting karena adanya standard benar-salah saja tidak cukup. Adanya standard benar-salah tidak berarti apapun kalau tidak diterapkan. Masalahnya yaitu siapa yang dianggap berkuasa untuk menerapkan aturan, atau standard benar-salah.

Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Ini karena rakyatlah yang pada dasarnya menentukan standard benar-salah. Sementara itu, kekuasaan juga berada di tangan rakyat. Rakyat jugalah yang memerintah mereka sendiri.[1] Padahal, pemerintahan yang dijalankan oleh semua rakyat tentu merupakan hal yang sulit dilakukan, kalau bukan mustahil. Karena itu, dibuatlah lembaga perwakilan rakyat.[2] Idealnya, rakyatlah yang menunjuk siapa-siapa yang menjadi wakil rakyat dalam lembaga tersebut. Dengan demikian, secara praktis, rakyat menyerahkan kekuasaan mereka pada orang-orang tertentu, yakni para wakil rakyat. Lebih jauh lagi, secara praktis, rakyat pun menyerahkan kedaulatan mereka pada para wakil rakyat tadi. Dalam perkembangannya, lembaga wakil rakyat ini kemudian dipecah menurut fungsi-fungsi tertentu, yakni lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif.[3] Lembaga legislatif merupakan lembaga yang terutama memegang amanat kedaulatan rakyat, lembaga eksekutif merupakan lembaga yang terutama memegang amanat kekuasaan rakyat, sementara lembaga yudikatif merupakan lembaga yang memegang amanat pengawasan atas pelaksanaan kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Inilah gambaran mengenai demokrasi.

Dalam monarki, kedaulatan berada di tangan kepala negara, yang biasanya disebut raja, ratu, atau kaisar. Individu tersebutlah yang menentukan standard benar-salah bagi masyarakat yang dipimpinnya.[4] Memang kepala negara monarki bisa saja membentuk lembaga penasihat atau lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, otoritas membuat aturan tetap berada pada diri kepala negara. Pun kekuasaan berada sepenuhnya di tangan kepala negara. Dialah yang berkuasa untuk menerapkan aturan yang berasal darinya. Kepala negara monarki juga berkuasa untuk menentukan siapa yang berhak menerima kekuasaan setelah dirinya. Ada banyak cara seseorang dapat memiliki kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Bisa jadi orang tersebut memang dikehendaki rakyat untuk memegang kedaulatan dan kekuasaan, atau orang tersebut memaksa rakyat dengan kekuatan yang dimilikinya, seperti dengan kekuatan militer atau ekonomi.

Itu tadi gambaran sistem demokrasi dan monarki. Berikut gambaran sekilas sistem pemerintahan khilafah, atau sistem pemerintahan Islam.

Dalam kekhilafahan, kedaulatan berada di tangan pembuat syariat. Hanya Pencipta yang berhak menentukan standard benar-salah. Sementara itu, kekuasaan berada di tangan umat. Secara praktis, umat menyerahkan kekuasaan yang ada pada mereka pada khalifah, atau kepala negara. Merupakan hal yang perlu dicermati yaitu bagaimana khalifah ditentukan dan diangkat. Mekanisme penentuan khalifah merupakan aspek praktis yang diserahkan ke umat. Umat bisa saja menentukan secara langsung siapa khalifah melalui pemilihan umum, atau menyerahkan urusan ini ke lembaga perwakilan umat. Sementara itu, mekanisme pengangkatan khalifah hanya satu, yakni ikrar pengangkatan, atau ikrar penyerahan kekuasaan umat pada khalifah untuk menerapkan syariat Islam atas umat, dan bukan untuk membuat standard benar-salah. Mengenai sejauh mana keterlibatan umat dalam ikrar baiat pengangkatan, itu juga merupakan aspek praktis yang diserahkan pada umat.


Denouncing Democracy

Sederhananya, demokrasi haram karena merupakan buatan manusia. Namun, perlu diingat bahwa karya manusia itu meliputi dua hal, yakni perkara teknis (teknik bertahan hidup) dan perkara non-teknis (interaksi antarmanusia). (Tentang dua macam perkara ini, silakan lihat Tentang Manusia.) Perkara teknis dapat diselesaikan dengan akal, namun perkara non-teknis harus diselesaikan dengan aturan dari Pencipta.

Demokrasi bukan perkara teknis. Dalam demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Padahal, dalam Islam, kedaulatan hanya ada di tangan Pencipta. Manusia hanya berkuasa untuk menerapkan aturan yang sudah ada, bukan membuat sendiri aturan. Inilah alasannya, secara lebih mendalam, dikatakan bahwa Islam dan demokrasi itu pada dasarnya dua hal yang sangat kontras.


Exacerbating Examples

Ada kalangan yang berpendapat bahwa proses pengangkatan sejumlah khalifah melalui proses rapat atau pemilihan langsung menunjukkan bahwa didalam Islam pun terkandung ajaran-ajaran demokrasi. Benarkah demikian?

Kejadian pemilihan khalifah bukanlah contoh penerapan demokrasi. Yang terjadi hanyalah aspek teknis, yakni cara menentukan khalifah. Dalam sejarah Islam, dapat dijumpai bahwa cara menentukan khalifah banyak ragamnya, dari perundingan oleh suatu majelis, survey atas umat, hingga pemaksaan oleh rezim penguasa. Sementara itu, aspek filosofis khilafah, sejak masa khalifah pertama hingga terakhir, tidak pernah berubah dan sama sekali berbeda dengan sistem republik atau demokrasi. Inti demokrasi bukan keterwakilan saja, tetapi juga berdaulat dan berkuasanya rakyat.

Dalam Islam, memang dikenal adanya lembaga perwakilan rakyat, atau yang dikenal dengan istilah majelis umat. Namun, majelis umat tidak menjalankan fungsi legislatif, atau pembuatan standard benar-salah. Fungsi yang dijalankan oleh majelis umat yaitu kontrol dan nasihat atas penerapan Islam. Memang adakalanya majelis umat tidak berfungsi atau bahkan ditiadakan, namun majelis umat tidak pernah membuat standard benar-salah.[5][6][7][8]

Ada juga yang berpendapat bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang dijalankan oleh peradaban Islam dulu yaitu sistem kerajaan. Benarkah demikian?

Telah dipaparkan bahwa dalam sistem kerajaan, kedaulatan dan kekuasaan berada sepenuhnya di tangan kepala negara. Kepala negara merupakan pihak yang berhak menentukan standard benar-salah sekaligus menerapkannya dalam pemerintahan. Kepala negara juga berhak mengalihkan kekuasaan pada pihak yang dikehendakinya, seperti putera mahkota. Adanya lembaga penasihat pada dasarnya tidak mengurangi kedaulatan dan kekuasaan kepala negara suatu kerajaan.

Ada dua lembaga yang secara praktis mencerminkan sistem apa yang digunakan oleh suatu institusi negara, yakni lembaga peradilan dan lembaga penguasa. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak masa Rasulullah ﷺ hingga saat Dawlah Khilafah Islamiyyah jatuh ke tangan penjajah pada tahun 1918, para hakim telah menyelesaikan segala perkara berdasarkan syariat Islam. Pun para penguasa Islam, sepanjang masa Dawlah Khilafah Islamiyyah, selalu mengatur aspek kemasyarakatan, ekonomi, pengajaran, politik dalam dan luar negeri, serta aspek kekuasaan berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejak masa Rasulullah ﷺ hingga akhir masa Dawlah Khilafah Islamiyyah, syariat Islamlah yang digunakan untuk mengatur kehidupan warganegara Dawlah Khilafah Islamiyyah.[9][10][11]

Dua masalah yang kerap terjadi dalam peradaban Islam, terutama setelah masa Khulafa' Ar Rasyidin, yaitu kemaksiatan penguasa dan pemaksaan penyerahan kekuasaan. Kemaksiatan penguasa nampak pada rusaknya kepribadian penguasa, keluarganya, atau pejabat-pejabatnya. Sementara itu, pemaksaan penyerahan kekuasaan nampak pada dipaksanya ulama atau umat membaiat keturunan penguasa sebagai penguasa baru, baik dengan tekanan fisik maupun dengan tekanan pemikiran melalui pemalsuan dalil. Tentu saja baik kemaksiatan penguasa maupun pemaksaan penyerahan kekuasaan merupakan perkara serius. Namun demikian, adanya dua masalah tadi dalam peradaban Islam sama sekali tidak menunjukkan bahwa peradaban Islam berbentuk kerajaan.[12][13] Ketika dua masalah serius tadi terjadi dalam peradaban Islam, pergaulan Islam masih terjaga, ekonomi Islam masih tegak, pengajaran Islam masih berlangsung, dakwah dan jihad masih dilaksanakan, serta baiat masih diperlukan untuk mengangkat khalifah. Bentuk pemerintahan peradaban Islam zaman dulu bukan kerajaan.


Rujukan

[1] 'Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya (Ad Dimuqaratiyyatu Nizhamu Kufrin Yahrumu Akhdzaha aw Tathbiqiha aw Ad Da'wata Ilayha), terj. Muhammad Shiddiq Al Jawi, hlm. 6-7, 10, 13, 59-60
[2] Ibid., hlm. 7-8, 14
[3] Ibid., hlm. 11
[4] Ibid., hlm. 10
[5] 'Abdul Aziz Al Badri, Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa (Al Islam bayna Al 'Ulama wa Al Hukkam), terj. Munirul Abidin (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 6-7
[6] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual (Singapore: Penerbit Lisan Ul-Haq, 1998), hlm. 226-227
[7] Taqiyuddin An Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham Al Islam), terj. Abu Amin dkk. (Bogor: Pustaka Thariqul 'Izzah, 2003), hlm. 68-69
[8] Zallum, op.cit., hlm. 83
[9] Abdurrahman, op.cit., hlm. 21-24
[10] Al Badri, op.cit., hlm. 3-7
[11] An Nabhani, op.cit., hlm. 63-69
[12] Al Badri, op.cit., hlm. 7-12
[13] An Nabhani, op.cit., hlm. 69-70, 74-79