Senin, 26 Februari 2018

Kompilasi Tulisan Al Qur'an

Tulisan ini merupakan suntingan pribadi atas sejumlah bahasan dalam berkas elektronik makalah "Sejarah Teks Al Qur'an, dari Wahyu sampai Kompilasinya" karya Prof. Dr. Muhammad Musthafa Al A'zhami. Rujukan yang disebutkan merupakan materi yang dirujuk oleh Prof. Dr. M. M. Al A'zhami, bukan oleh penyunting.

Meski Nabi Muhammad ﷺ telah mencurahkan upaya dalam memelihara keutuhan Al-Qur'an, beliau tidak merangkum semua surat ke dalam satu jilid, sebagaimana yang ditegaskan oleh Zayd bin Tsabit dalam pernyataannya.

قـبـض الـنـبـي صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم و لـن يـكـن الـقـرآن جـمـع فـي شـيـئ
"Saat Nabi Muhammad wafat, Al Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[1]

Di sini, perlu diperhatikan penggunaan kata "pengumpulan", bukan "penulisan". Dalam komentarnya, Al Khaththabi menyebutkan, "Catatan ini memberikan isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, kitab Al Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad , hanya saja belum disatukan dan surat-surat yang ada juga masih belum tersusun."[2] Penyusunan Al Qur'an dalam satu jilid utama boleh jadi merupakan tantangan karena nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Berubahnya susunan manuskrip akan sangat merendahkan derajat surat dan ayat-ayat yang baru turun kemudian karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad ﷺ wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, berarti penurunan wahyu berakhir untuk selamanya; tidak akan ada lagi ayat baru, perubahan hukum, ataupun penyusunan ulang. Dengan demikian, kondisi yang mapan atau waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al Qur'an ke dalam satu jilid adalah setelah Rasulullah ﷺ wafat. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam pengambilan keputusan terkait hal ini dan bahkan masyarakat merasa percepatan pelaksanaan pengumpulan Al Qur'an merupakan hal yang urgen. Allah سبحانه و تعالى memberikan bimbingan pada para sahabat dalam memberikan pelayanan terhadap Al Qur'an sesuai janji pemeliharaan selamanya terhadap kitab-Nya.

إِنَّـا نَـحْـنُ نَـزَّلْـنَـا الـذِّكْـرَ وَ إِنَّـا لَـهُ و لـَحَـافِـظُـونَ (الـحـجـر: ٩)
"Sungguh Kamilah yang menurunkan Al Qur'an dan sungguh Kami benar-benar memeliharanya." (Al Hijr ayat 9)

Penugasan Zayd bin Tsabit pada Masa Pemerintahan Abu Bakr

Sejak awal dua puluhan tahun usianya, Zayd diberi keistimewaan tinggal bertetangga dengan Nabi Muhammad ﷺ, bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat cemerlang, dan merupakan salah satu di antara para huffazh. Kehebatan jati diri itulah yang mengantarnya menjadi pilihan utama sebagai pengumpul Al Qur'an. Abu Bakr Ash Shiddiq mencatat kualifikasi dirinya sebagai berikut.

  1. Vitalitas dan kekuatan energi Zayd nampak di masa mudanya.
  2. Akhlak Zayd tak pernah tercemar sehingga Abu Bakr memberikan pengakuan khusus padanya, "Kami tak pernah memiliki berprasangka buruk tentang Anda."
  3. Zayd merupakan pribadi yang cerdas.
  4. Zayd berpengalaman sebagai penulis wahyu.[3]

Perlu diingat juga bahwa Zayd bin Tsabit termasuk sahabat yang beruntung menjadi salah satu yang pernah mendengar bacaan Al Qur'an malaikat Jibril bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan.[4]

Terkait penugasannya, berikut laporan Zayd.

Abu Bakr memanggil saya setelah pertempuran Al Yamamah yang menelan korban para sahabat sebagai syuhada. Kami melihat saat 'Umar bin Khaththab bersamanya. Abu Bakr mulai berkata, "'Umar baru saja tiba menyampaikan pendapat ini. Pertempuran Al Yamamah telah menelan korban begitu besar dari para penghafal Al Qur'an[5] dan kami khawatir hal yang serupa akan terjadi dalam peperangan lain. Sebagai akibatnya, mungkin sebagian Al Qur'an akan musnah. Oleh karena itu, kami berpendapat agar dikeluarkan perintah pengumpulan Al Qur'an." Abu Bakr menambahkan, "Saya katakan pada 'Umar bagaimana mungkin kita melakukan satu tindakan yang Nabi Muhammad tidak pernah lakukan. 'Umar menjawab bahwa ini merupakan upaya terpuji dan ia tidak berhenti menanggapi sikap keberatanku hingga Allah memberikan kedamaian dan pada akhirnya kami memiliki pendapat serupa. Zayd, Anda seorang pemuda cerdik lagi pandai dan Anda sudah terbiasa menuliskan wahyu pada Nabi Muhammad, dan kami tidak melihat satu kelemahan pada diri Anda. Carilah semua Al Qur'an agar dapat dirangkum seluruhnya!" Demi Allah, sekiranya mereka minta saya memindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan lebih ringan dari apa yang mereka perintahkan pada saya sekarang. Saya tanyakan pada mereka, "Kenapa kalian berpendapat untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?" Abu Bakr dan 'Umar bersikeras mengatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan dan malah akan membawa kebaikan. Mereka tak henti-hentinya menenangkanku hingga akhirnya Allah menenangkan saya dalam pelaksanaan tugas itu, seperti halnya Allah menenangkan hati Abu Bakr dan 'Umar.[6]

Setelah diyakinkan oleh Abu Bakr dan 'Umar, Zayd mau menerima tugas berat sebagai pengawas komisi[7] sedangkan 'Umar bertindak sebagai pembantu khusus.


Instruksi Abu Bakr pada Zayd bin Tsabit

Suatu ketika, seorang nenek menghadap ke Khalifah Abu Bakr untuk meminta penjelasan tentang hak waris dari cucu yang meninggal dunia. Beliau menjawab bahwa bagian untuk nenek dari cucu tidak disebutkan dalam Al Qur'an dan tidak pula beliau ingat bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah memberikan penjelasan akan hal itu. Abu Bakr lalu meminta konfirmasi dari para hadirin. Al Mughirah berdiri dan mengatakan bahwa beliau hadir saat Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa bagian seorang nenek adalah satu per enam. Abu Bakr bertanya pada yang lain, barangkali ada yang tak sepaham dengan Al Mughirah. Muhammad bin Maslamah kemudian menyatakan bahwa dirinya juga menyaksikan perkataan Rasulullah ﷺ terkait hal ini. Riwayat ini merupakan ilustrasi usaha Abu Bakr menghapus keraguan sebelum berbuat berdasarkan penjelasan Al Mughirah.[8] Dalam hal ini, Abu Bakr semata-mata mengikuti tuntunan Al Qur'an mengenai kedudukan para saksi.

يَـا أَيُّـهَـا الَّـذِيـنَ آمَـنُـوا إِذَا تَـدَايَـنْـتُـمْ بِـدَيْـنٍ إِلَـى أَجَـلٍ مُـسَـمًّـى فَـاكْـتُـبُـوهُ وَلْـيَـكْـتُـبْ بَـيْـنَـكُـمْ كَاتِـبٌ بِـالْـعَـدْلِ وَلَا يَـأْبَ كَاتِـبٌ أَنْ يَـكْـتُـبَ كَـمَـا عَـلَّـمَـهُ اللَّهُ فَـلْـيَـكْـتُـبْ وَلْـيُـمْـلِـلِ الَّـذِي عَـلَـيْـهِ الْـحَـقُّ وَلْـيَـتَّـقِ اللَّهَ رَبَّـهُ وَلَا يَـبْـخَـسْ مِـنْـهُ شَـيْـئًـا فَـإِنْ كَانَ الَّـذِي عَـلَـيْـهِ الْـحَـقُّ سَـفِـيـهًـا أَوْ ضَـعِـيـفًـا أَوْ لَا يَـسْـتَـطِـيـعُ أَنْ يُـمِـلَّ هُـوَ فَـلْـيُـمْـلِـلْ وَلِـيُّـهُ بِـالْـعَـدْلِ وَاسْـتَـشْـهِـدُوا شَـهِـيـدَيْـنِ مِـنْ رِجَـالِـكُـمْ فَـإِنْ لَـمْ يَـكُـونَـا رَجُـلَـيْـنِ فَـرَجُـلٌ وَامْـرَأَتَـانِ مِـمَّـنْ تَـرْضَـوْنَ مِـنَ الشُّـهَـدَاءِ أَنْ تَـضِـلَّ إِحْـدَاهُـمَـا فَـتُـذَكِّـرَ إِحْـدَاهُـمَـا الْأُخْـرَى وَلَا يَـأْبَ الـشُّـهَـدَاءُ إِذَا مَـا دُعُـوا (الـبـقـرة: ٢٨٢)
"Hai orang-orang yang beriman! Jika kalian bertransaksi dengan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, hendaknya kalian menuliskannya ... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki yang adil dari kalian. Jika tidak ada dua lelaki, persaksikanlah dengan seorang lelaki dan dua orang perempuan dari kalian yang kalian restui supaya jika seseorang lupa, orang yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu merasa enggan ketika dipanggil." (Al Baqarah ayat 282)

Hukum kesaksian memainkan peranan penting dalam kompilasi Al Qur'an, dan tentu saja dalam ilmu hadits, serta merupakan bagian penting dari instruksi Abu Bakr pada Zaid bin Tsabit. Berikut pernyataan Ibnu Hajar.

و عـنـد إبـن أبـي داود أيـضـا عـن طـريـق هـشـام بـن عـروة عـن أبـيـه أن أبـا بـكـر قـال لـعـمـر و زيـد أقـعـدا عـلـى بـاب الـمـسـجـد فـمـن جـاء كـمـا بـشـاهـديـن عـلـى شـيء مـن كـتـاب الله فـأكـتـبـاه
"Abu Bakr mengatakan pada 'Umar dan Zayd, "Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi! Jika ada orang menyampaikan pada Anda tentang sepotong ayat dari kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah!"[9]

Ibnu Hajar memberikan komentar lanjutan tentang riwayat tersebut.

قـل إبـن حـجـر كـان الـمـراد بـالـشـاهـديـن الـحـفـض و الـكـتـاب أو الـمـراد أنـهـمـا يـشـهـدان عـلـى أن ذلـك الـمـكـتـوب كـتـب بـيـن يـدي رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أو الـمـراد أنـهـمـا يـشـهـدان عـلـى أن ذلـك مـن الـوجـوه الـتـي نـزل بـهـا الـقـرآن و كـان غـرضـهـم أن لا يـكـتـب إلا مـن عـيـن مـا كـتـب بـيـن يـدي الـنـبـي صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم لا مـن مـجـرد الـحـفـظ
"Sepertinya apa yang dimaksud dengan dua saksi yaitu a) orang yang membawakan hafalan dan orang yang membawakan tulisan, atau b) dua orang yang menyaksikan bahwa suatu ayat telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad , atau c) dua orang yang menyaksikan bahwa suatu ayat merupakan salah satu bentuk wahyu. Tujuannya adalah agar yang diterima merupakan sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad ﷺ dan bukan semata-mata berlandaskan pada hafalan seseorang saja."[10]

Kemungkinan kedua lebih kuat karena didukung oleh laporan Ibnu Hajar[11], "Zayd tidak mau menerima materi tulisan seseorang kecuali dua orang sahabat menyaksikan bahwa orang itu menerima ayat Al Qur'an seperti yang diperdengarkan oleh Nabi Muhammad ."

Profesor Shawqi Dhayf menyampaikan[12] bahwa Bilal bin Rabah berjalan berkeliling kota Madinah melakukan pengecekan ke tiap sahabat yang hadir dan memiliki ayat-ayat Al Qur'an seperti yang ia tulis sebagaimana yang diperdengarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.


Metode Kompilasi Al Qur'an oleh Zayd bin Tsabit

Berikut kaidah yang diberikan Gotthelf Bergsträsser tentang pemeringkatan naskah.

  1. Naskah yang lebih awal biasanya lebih terjamin dan terpercaya daripada naskah yang muncul kemudian.
  2. Naskah yang sudah direvisi oleh melalui pembandingan dengan naskah induk lebih tinggi tingkatannya dari naskah yang tidak diubah.[13]
  3. Jika naskah asli masih ada, naskah lain yang ditulis dari naskah asli akan hilang nilainya.[14]

Régis Blachère dan Jean Sauvaget menegaskan tentang poin ketiga kaidah tadi dengan menyatakan bahwa jika naskah asli masih terdapat di tangan pengarang, atau salah satu naskah yang telah mengalami perubahan masih ada, maka nilai naskah-naskah lain akan dinafikan.[15] Pun pada kasus tidak adanya naskah asli dari seorang pengarang namun naskah induk ada, maka duplikat lain hendaknya dibuang dan tidak dipertimbangkan.

Gambar 1. Skenario silsilah naskah. Analisis skenarionya ada di paragraf teks.

Pada silsilah naskah di atas, dua skenario berikut dapat dipertimbangkan.

  1. Misalkan penulis naskah asli hanya menghasilkan satu edisi buku, tanpa ada edisi kedua atau revisi pada edisi pertama. Penulis A mendasarkan naskahnya pada naskah asli dan penulis L mendasarkan naskahnya pada naskah A. Sangat jelas bahwa naskah A dan L memiliki derajat di bawah naskah asli.
  2. Pada skenario lain, ada satu edisi buku yang naskah aslinya tidak ditemukan. Naskah asli ini memiliki dua salinan, yang ditulis oleh A dan B. Salinan ketiga ditulis oleh X berdasarkan naskah milik B. Derajat naskah X jelas di bawah derajat naskah B, sementara derajat naskah A sama dengan derajat naskah B.

Demikianlah kaidah-kaidah kajian kritis naskah dan edisi penerbitan yang dikembangkan oleh orientalis di abad kedua puluh. Ternyata empat belas abad yang silam, Zayd telah melakukan kegiatan sesuai kaidah yang mereka buat. Saat ketika Nabi Muhammad ﷺ menapakkan kaki di bumi Madinah merupakan titik awal kegiatan intensif penulisan Al Qur'an. Banyak sahabat yang memiliki ayat-ayat Al Qur'an, yang mereka salin dari kertas kulit milik para kawan dan tetangga. Dengan menerapkan pembatasan terhadap ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Nabi Muhammad ﷺ, Zayd memberikan keyakinan bahwa semua materi yang beliau teliti memiliki tingkatan yang sama sehingga didapat jaminan atas ketelitian yang dicapai. Ingatan atau hafalan Zayd hanya dapat dibandingkan dengan materi-materi berderajat tinggi dan seragam, bukan dengan naskah kedua, ketiga, atau seterusnya. Inilah dasar sikap keras Abu Bakr, 'Umar, dan Zayd atas materi dari tangan pertama dengan dua orang saksi. Didorong oleh semangat yang meluap dari para pelakunya, proyek tersebut berkembang menjadi upaya sebenarnya yang dilakukan oleh masyarakat.

  1. Khalifah Abu Bakr mengeluarkan seruan dan undangan umum supaya setiap orang yang mampu berpeluang untuk berpartisipasi.
  2. Proyek pengumpulan tulisan Al Qur'an dilakukan di Masjid Nabawi.
  3. 'Umar berdiri di pintu Masjid Nabawi sembari mengulang seruan dan undangan Abu Bakr.
  4. Bilal bin Rabah berkeliling Madinah untuk memeriksakan naskahnya, sekaligus sebagai penyiaran proyek pengumpulan tulisan Al Qur'an.
  5. Zayd hanya menerima materi tulisan yang telah dikuatkan dengan kesaksian dua orang bahwa tulisan tersebut dibuat di bawah pengawasan Rasulullah ﷺ.

Zayd bin Tsabit dan Sumber Hafalan

Sumber-sumber utama tulisan Al Qur'an, yang banyak ditulis pada kertas kulit, papan-papan kayu, atau daun, tidak hanya dicocokkan dengan sesama tulisan, namun juga hafalan para sahabat. Jadi selain harus dikuatkan oleh dua saksi, tulisan Al Qur'an harus sesuai dengan yang dihafal para sahabat. Dalam keadaan apa pun, Zayd bin Tsabit selalu merujuk pada hafalan orang lain, "Al Qur'an saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas kulit, potongan tulang, dan dari dada para penghafal." Berikut ulasan Az Zarkasyi tentang hal ini.

Pernyataan Zayd ini telah menyebabkan kalangan tertentu menganggap bahwa tak ada yang hafal seluruh Al Qur'an pada zaman Nabi Muhammad . Anggapan tadi tidak dapat dipertahankan dan merupakan sebuah kekeliruan. Apa yang dimaksud Zayd yaitu ia mencari ayat-ayat tertulis dari berbagai sumber yang masih tercecer untuk dicocokkan dengan apa yang telah dihafal oleh para huffazh. Dengan cara demikian, tiap orang dapat berpartisipasi dalam proses pengumpulan. Tak ada seorang pun yang memiliki sebagian ayat kemudian tidak diikutsertakan. Demikian juga tak seorang pun memiliki alasan untuk menyatakan sikap prihatin atas ayat-ayat yang dikumpulkan. Pun tidak akan ada keluhan bahwa naskah yang dikumpulkan berasal hanya dari orang-orang tertentu.[16]

Ibnu Hajar memberikan perhatian secara khusus terhadap keterangan yang diberikan Zayd, "Saya dapati dua ayat terakhir dalam surat Al Bara'ah (At Tawbah) ada pada hafalan Abu Khuzaymah Al Anshari." Ini membuktikan bahwa tulisan yang ada pada Zayd dan hafalannya dianggap tidak mencukupi. Segala sesuatunya memerlukan pengesahan.[17] Berikut perkataan lebih lanjut Ibnu Hajar.

فـلـم يـأمـر أبـوبـكـر إلا يـكـتـابـة مـا كـان مـوجـودا و لـذلـك تـوقـف عـن كـتـابـة الآيـة مـن آخـر سـورة بـراءة حـتـى وجـدهـا مـكـتـوبـة مـع أنـه كـان يـسـتـحـضـر هـا هـو و مـن مـعـه
"Abu Bakr tidak memberikan wewenang padanya untuk menulis kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas kulit. Itu adalah sebab utama Zayd tidak mau memasukkan ayat terakhir dari surah Al Bara'ah sebelum ia membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan) meskipun ia mempunyai banyak sahabat yang dengan mudah dapat mengingat kembali secara tepat dari hafalan mereka."[18]

Masalah Dua Ayat Terakhir Surat At Tawbah

Istilah tawatur (تـواتـر) merupakan ungkapan umum dalam kajian Islam. Misalnya yaitu Al Qur'an telah dialihkan secara mutawatir atau naskah tertentu dibangun dengan sistem mutawatir. Kata tawatur ditujukan pada pengumpulan dan perbandingan informasi dari berbagi sumber, yang jika sebagian besar menyetujui suatu bacaan, maka hal yang demikian memberikan keyakinan akan keaslian bacaan itu sendiri. Selama tidak ada kesepakatan ilmiah tentang jumlah saluran atau individu yang diperlukan dalam mencapai tingkat tawatur, masalah utamanya adalah bagaimana mendapatkan ketentuan mutlak dan persyaratan untuk mencapai tujuan ini, yang boleh jadi berbeda menurut tempat, masa, serta lingkungan. Para ilmuwan biasanya tetap berpegang pada pendapat bahwa sekurang-kurangnya harus terdapat setengah lusin sumber riwayat; adanya jumlah yang lebih besar akan mengecilkan kemungkinan dan memperumit usaha pemalsuan.

Dua ayat terakhir surat Al Bara'ah disahkan dan dimasukkan ke dalam mushhaf semata-mata berdasarkan kertas kulit dari Khuzaymah, yang diperkuat dengan hafalan Zayd bin Thabit dan beberapa huffazh lainnya. Namun dalam hal kualitasnya sebagai bagian dari kitab Al Qur'an, bagaimana kita dapat menerima satu naskah kulit kertas dan beberapa hafalan para sahabat sebagai alasan status tawatur?

Sebagai gambaran, anggaplah di dalam ruangan kelas berukuran kecil di depan dua atau tiga mahasiswa, seorang guru besar membacakan sebuah syair pendek dari hafalannya. Setelah itu, orang-orang menanyakan pada mahasiswanya tentang hal itu. Jika bacaan mereka sama, kita memiliki kepastian secara mutlak bahwa hal itu seperti apa yang diajarkan sang guru besar. Ini sama juga halnya dengan ayat-ayat atau sumber-sumber yang ditulis dan dihafal, dengan syarat tidak ada kolusi di antara periwayat. Begitu juga dengan masalah surah Al Bara'ah yang tidak ada perselisihan tentang pada sumber-sumber yang ada. Kendala yang dihadapi Zayd yaitu kurangnya saksi materi tulisan, bukan tidak adanya hafalan ataupun riwayat ayat.

Guna menepis kekhawatiran konspirasi, terdapat argumentasi berikut. Kedua ayat tersebut tidak memiliki sesuatu yang baru secara teologis, tidak membicarakan pemujaan kekerabatan tertentu, dan tidak pula memberikan informasi tentang sesuatu yang tak terdapat dalam Al Qur'an. Adanya konspirasi menciptakan ayat-ayat seperti itu sangat tidak masuk akal karena tidak tampak kepentingan yang mungkin lahir dari upaya pemalsuan. Dalam suasana seperti ini di mana Allah سبحانه و تعالى menjamin kejujuran para sahabat terhadap kitab suci-Nya, kita dapat menarik kesimpulan akan adanya tawatur yang cukup dalam menentukan keputusan akhir ayat-ayat tersebut.


Penyimpanan Shuhuf dalam Arsip Kenegaraan

Setelah tugas terselesaikan, kompilasi Al Qur'an disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah pengawasan Abu Bakr.[19] Kontribusi Abu Bakr dapat disimpulkan yaitu menetapkan penyatuan materi tertulis Al Qur'an dari sumber pertama, dengan sumber meliputi seluruh kota Madinah, dan menyusunnya ke dalam satu jilid. Kompilasi ini disebut dengan istilah shuhuf, sebuah kata jamak yang artinya keping atau kertas. Nampaknya istilah ini mempunyai makna yang berbeda dengan kata tunggal mushhaf, yang sekarang menunjukkan sebuah naskah tulisan Al Qur'an.

Ketetapan Abu Bakr telah dilaksanakan oleh Zayd bin Tsabit, yang menyusun semua surat dan ayat secara tepat. Besar kemungkinannya, sebagai seorang putra Madinah, dia menggunakan aksara dan ejaan Madinah yang lazim. Pun tampaknya ukuran keping-keping kertas yang digunakan untuk menulis Al Qur'an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu tidak tersusun rapi; itulah sebabnya dinamai shuhuf. Baru lima belas tahun kemudian pada masa Khalifah 'Utsman, upaya pengiriman naskah-naskah Al Qur'an ke berbagai wilayah kekuasaan umat Islam didukung oleh tersedianya kertas kulit bermutu tinggi. Pun pada masa itu, telah mampu diproduksi kitab Al Qur'an dalam ukuran kertas yang seragam, yang kemudian lebih dikenal sebagai mushhaf.


Peranan 'Umar dalam Pengenalan Kitab Suci Al Qur'an

Dengan menunjuk 'Umar sebagai penerus kekhalifahan, Abu Bakr telah memberikan kepercayaan terhadap 'Umar tentang pengurusan naskah-naskah Al Qur'an yang ada.[20] Di samping berbagai kemenangan dan penaklukan, kepemimpinan 'Umar juga diwarnai dengan pengembangan Al Qur'an secara pesat melintasi batas Semenanjung Arab. Beliau mengutus sekurang-kurangnya sepuluh sahabat ke Basrah guna mengajarkan Al-Qur'an.[21] Demikian pula ia mengutus Ibnu Mas'ud ke Kufah.[22] Ketika diberitahukan pada 'Umar tentang adanya orang lain di Kufah yang mendiktekan Al Qur'an pada masyarakat melalui hafalan, 'Umar naik pitam seperti kegilaan. Saat mendapati bahwa orang tersebut tidak lain adalah Ibnu Mas'ud, barulah 'Umar merasa tenang.

Berita penting lainnya adalah mengenai pengajaran Al Qur'an di Suriah. Yazid bin Abu Sufyan, penguasa Suriah, mengadukan pada 'Umar tentang para muslim yang membutuhkan pendidikan Al Qur'an dan keislaman. Ia mendesak agar 'Umar mengutus pengajar. 'Umar kemudian memilih tiga sahabat untuk melakukan tugas tersebut; mereka adalah Mu'adz, 'Ubadah, dan Abu Ad Darda'. 'Umar meminta mereka pergi menuju Hims dan setelah mengajar di sana, salah satu dari mereka agar pergi ke Damaskus dan satu lagi ke Palestina. Setelah penduduk setempat puas atas pengajaran yang diberikan, Abu Ad Darda' meneruskan perjalanan ke Damaskus sedangkan Mu'adz ke Palestina, meninggalkan 'Ubadah di Hims. Mu'adz meninggal dunia akibat wabah dan Abu Ad Darda' tinggal di Damaskus beberapa waktu lamanya. Abu Ad Darda' membuat halaqah yang sangat masyhur, yang pelajarnya melebihi 1600 orang.[23] Dia membagi murid-muridnya ke dalam sepuluh kelompok, menugaskan seorang instruktur untuk tiap kelompok, dan melakukan inspeksi keliling untuk memantau kemajuan mereka. Pelajar yang telah lulus tingkat dasar diperkenankan mengikuti bimbingan langsung oleh Abu Ad Darda'. Dengan belajar langsung pada Abu Ad Darda', pelajar akan merasa lebih terhormat dan dapat mengambil peran sebagai pengajar.[24]

Metode yang sama juga dipraktikkan di tempat lain. Abu Raja' Al Ataradi menyatakan bahwa Abu Musa Al Asy'ari membagi murid-muridnya, yang jumlahnya hampir mencapai 300 orang,[25] menjadi beberapa kelompok di Masjid Basrah.[26]

Di Madinah, 'Umar mengutus Yazid bin 'Abdullah bin Qusayth untuk mengajarkan Al Qur'an ke kalangan orang Badui.[27] 'Umar juga melantik Abu Sufyan sebagai inspektur untuk sukunya agar diketahui sejauh mana pembelajaran mereka.[28] 'Umar juga menunjuk tiga sahabat di Madinah untuk mengajar anak-anak, dengan setiap orangnya digaji lima belas dirham per bulan;[29] setiap murid diberi pelajaran dengan lima ayat yang mudah.[30]

Di akhir tahun ke-23 H setelah ditikam oleh Abu Lu'luah, seorang budak Kristen dari Persia,[31] 'Umar menolak untuk menunjuk khalifah penerusnya dan mempersilakan masyarakat memilihnya sendiri. Shuhuf kemudian diamanahkan kepada Hafshah, putri 'Umar dan mantan istri Nabi Muhammad ﷺ.


Penutup

Pengabdian Abu Bakr terhadap Al Qur'an sangat mengesankan. Dia sangat menekankan instruksinya tentang dua saksi untuk membangun otentisitas teks dalam proyek kompilasi Al Qur'an. Walhasil walaupun ditulis di atas kertas yang tidak sempurna dan berbeda-beda ukurannya, usaha ini telah menampakkan keikhlasan pelakunya dalam usaha pemeliharaan Al Qur'an. Rangkaian kemenangan, yang berarti meluasnya Islam melebihi batas padang pasir Arab, mendorong kemajuan pendidikan Islam hingga ke Palestina dan Suriah. Pemerintahan 'Umar telah diwarnai dengan pengembangan sekolah-sekolah untuk menghafal Al Qur'an. Tulisan lain akan membahas usaha penjagaan Al Qur'an yang tidak berhenti dengan wafatnya Abu Bakr dan 'Umar.


Catatan

[1] Ibnu Hajar, Fathul Bari, IX: 12 | Al Bukhari, Shahih Bukhari, Jami' Al Qur'an: 4986
[2] As Suyuthi, Al Itqan, I: 164
[3] Al Bukhari, Shahih Bukhari, Jami' Al Qur'an: 4986 | Ibnu Abi Dawud, Al Mashahif, hlm. 8
[4] Thahir Al Jazairi, At Thibyan, hlm. 126 | A. Jeffery, Al Mabani, hlm. 25
[5] Qurra', yang artinya para pembaca, adalah istilah yang biasa dipakai untuk para huffazh atau para penghafal Al Qur'an. Dengan ketakwaannya, qurra' selalu berada di baris depan pasukan dan paling berpeluang mati.
[6] Al Bukhari, Shahih Bukhari, Jami' Al Qur'an: 4986 | Ibnu Abi Dawud, Al Mashahif
[7] Ibnu Abi Dawud, Al Mashahif, hlm. 6
[8] Malik, Al Muwaththa', Al Faraidh: 4, hlm. 513
[9] Ibnu Abi Dawud, Al Mashahif, hlm. 6 | Ibnu Hajar, Fathul Bari, IX: 14
[10] Ibnu Hajar, Fathul Bari, IX: 14-15
[11] Ibnu Hajar, Fathul Bari, IX: 14 | Al Bukhari, Shahih Bukhari, Jami' Al Qur'an: 4986
[12] Shawqi Dhayf, Kitab As Sab'ah of Ibn Mujahid, pendahuluan hlm. 6
[13] Bergsträsser, Ushul Naqd An Nushush wa Nasyr Al Kutub (in Arabic), Kairo, 1969, hlm. 14
[14] Ibid., hlm. 20
[15] Régis Blachère dan Jean Sauvaget, Regles pour editions et traductions de textes arabes, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Al Miqdad, hlm. 47
[16] Az Zarkasyi, Burhan, I: 238-239
[17] Ibnu Hajar, Fathul Bari, IV: 13
[18] Ibid., IX: 13
[19] Al Bukhari, Shahih Bukhari, Fadhail Al Qur'an: 3 | Abu 'Ubayd, Fadhail, hlm. 281 | At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, no. 3102
[20] Abu 'Ubayd, Fadhail, hlm. 281
[21] Ad Darimi, Sunan, I: 135, disunting oleh Dahman
[22] Ibnu Sa'd, Thabaqat, VI: 3
[23] Adz Dzahabi, Siyar A'lam An Nubala', II: 344-346
[24] Ibid., II: 346
[25] Al Baladzuri, Ansab Al Asyraf, I: 110 | Ibnu Durayd, Fadhail, hlm. 36 | Al Hakim, Al Mustadrak, II: 220
[26] Al Faryabi, Fadhail Al Qur'an, hlm. 129
[27] Ibnu Al Kalbi, Jamharat An Nasab, hlm. 143
[28] Ibnu Hajar, Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, I: 83, no. 332
[29] Al Bayhaqi, Sunan Al Kubra, VI: 124
[30] Ibnu Katsir, Fadhail, VII: 495
[31] William Muir, Annals of the Early Caliphate, hlm. 278

On Contradiction

Kalau Islam melarang mengambil dari pihak kafir, mengapa muslim masih menggunakan teknologi buatan kafir?
Karya manusia itu ada yang menyangkut standard baik-buruk dan ada juga yang bersifat teknis bebas nilai. Islam melarang mengambil standard baik-buruk dari luar Islam dan mengizinkan mengambil hal-hal teknis dari pihak mana pun. Tidak ada kontradiksi dalam perkara ini.

On Slavery

Mengapa Islam mengizinkan perbudakan?
Entah mengapa Allah menetapkan perbudakan sebagai bagian dari Islam, beserta tuntunan perlakuan pada budak. Disukai atau dibenci, perbudakan harus diterima sebagai bagian dari Islam. Pun adanya perbudakan dalam Islam tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk berbuat zalim kepada orang lain.