Jumat, 03 April 2009

Islam Tidak Demokratis

Wah, cukup menyengat bukan judul tulisan ini? Ada banyak pihak yang mengatakan bahwa Islam itu domokratis, atau bahwa demokrasi itu Islami. Alasan yang sering dilontarkan yaitu bahwa Islam dan demokrasi memiliki ajaran musyawarah.

Dalam tulisan ini, ditunjukkan bahwa Islam itu sama sekali tidak demokratis, dan bahwa demokrasi itu sama sekali tidak Islami. Makna demokrasi itu lebih dari sekedar usaha menyelesaikan masalah dengan musyawarah.


Systemizing the Systems

Biasanya, dikatakan bahwa ada dua macam sistem pemerintahan di dunia, yakni demokrasi dan monarki. Sebenarnya, ada sistem ketiga, yakni sistem pemerintahan kekhilafahan. Sistem pemerintahan kekhilafahan sama sekali berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi ataupun monarki. (Paparan rinci mengenai sistem pemerintahan khilafah tidak akan dibahas dalam tulisan ini.)


Polemizing the Politics

Segala macam sistem pemerintahan tentu memiliki aspek-aspek praktis. Dari sekian banyak aspek praktis ini, bisa jadi ada beberapa aspek praktis dari suatu sistem pemerintahan yang serupa dengan aspek praktis sistem pemerintahan lain. Bentuk aspek-aspek praktis ini tidak akan pernah lepas dari aspek-aspek filosofis yang melandasi suatu sistem pemerintahan. Dengan demikian aspek-aspek filosofislah yang sebaiknya digunakan untuk membandingkan satu sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang lain.

Aspek filosofis pertama yaitu kedaulatan, atau otoritas penentuan standard benar-salah. Ini penting karena memang suatu sistem pemerintahan dibuat untuk mengatur masyarakat. Standard benar-salah dibutuhkan untuk mewujudkan keteraturan. Sebagai contoh, di Indonesia, telah ditentukan bahwa masa jabatan kepala negara yaitu lima tahun. Setelah berakhir masa jabatan kepala negara, harus diadakan suatu mekanisme untuk menentukan dan mengangkat kepala negara baru. Perkara seperti keharusan mengganti pemimpin secara berkala bukanlah perkara teknis, yang solusinya cukup sains dan teknologi; ini merupakan perkara non-teknis yang solusinya yaitu aturan, atau ketetapan, yang merupakan standard benar-salah. Tentang perkara teknis dan non-teknis serta solusinya, silakan lihat Tentang Manusia.

Aspek filosofis kedua yaitu kekuasaan, atau otoritas penerapan standard benar-salah. Ini penting karena adanya standard benar-salah saja tidak cukup. Adanya standard benar-salah tidak berarti apapun kalau tidak diterapkan. Masalahnya yaitu siapa yang dianggap berkuasa untuk menerapkan aturan, atau standard benar-salah.

Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Ini karena rakyatlah yang pada dasarnya menentukan standard benar-salah. Sementara itu, kekuasaan juga berada di tangan rakyat. Rakyat jugalah yang memerintah mereka sendiri.[1] Padahal, pemerintahan yang dijalankan oleh semua rakyat tentu merupakan hal yang sulit dilakukan, kalau bukan mustahil. Karena itu, dibuatlah lembaga perwakilan rakyat.[2] Idealnya, rakyatlah yang menunjuk siapa-siapa yang menjadi wakil rakyat dalam lembaga tersebut. Dengan demikian, secara praktis, rakyat menyerahkan kekuasaan mereka pada orang-orang tertentu, yakni para wakil rakyat. Lebih jauh lagi, secara praktis, rakyat pun menyerahkan kedaulatan mereka pada para wakil rakyat tadi. Dalam perkembangannya, lembaga wakil rakyat ini kemudian dipecah menurut fungsi-fungsi tertentu, yakni lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif.[3] Lembaga legislatif merupakan lembaga yang terutama memegang amanat kedaulatan rakyat, lembaga eksekutif merupakan lembaga yang terutama memegang amanat kekuasaan rakyat, sementara lembaga yudikatif merupakan lembaga yang memegang amanat pengawasan atas pelaksanaan kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Inilah gambaran mengenai demokrasi.

Dalam monarki, kedaulatan berada di tangan kepala negara, yang biasanya disebut raja, ratu, atau kaisar. Individu tersebutlah yang menentukan standard benar-salah bagi masyarakat yang dipimpinnya.[4] Memang kepala negara monarki bisa saja membentuk lembaga penasihat atau lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, otoritas membuat aturan tetap berada pada diri kepala negara. Pun kekuasaan berada sepenuhnya di tangan kepala negara. Dialah yang berkuasa untuk menerapkan aturan yang berasal darinya. Kepala negara monarki juga berkuasa untuk menentukan siapa yang berhak menerima kekuasaan setelah dirinya. Ada banyak cara seseorang dapat memiliki kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Bisa jadi orang tersebut memang dikehendaki rakyat untuk memegang kedaulatan dan kekuasaan, atau orang tersebut memaksa rakyat dengan kekuatan yang dimilikinya, seperti dengan kekuatan militer atau ekonomi.

Itu tadi gambaran sistem demokrasi dan monarki. Berikut gambaran sekilas sistem pemerintahan khilafah, atau sistem pemerintahan Islam.

Dalam kekhilafahan, kedaulatan berada di tangan pembuat syariat. Hanya Pencipta yang berhak menentukan standard benar-salah. Sementara itu, kekuasaan berada di tangan umat. Secara praktis, umat menyerahkan kekuasaan yang ada pada mereka pada khalifah, atau kepala negara. Merupakan hal yang perlu dicermati yaitu bagaimana khalifah ditentukan dan diangkat. Mekanisme penentuan khalifah merupakan aspek praktis yang diserahkan ke umat. Umat bisa saja menentukan secara langsung siapa khalifah melalui pemilihan umum, atau menyerahkan urusan ini ke lembaga perwakilan umat. Sementara itu, mekanisme pengangkatan khalifah hanya satu, yakni ikrar pengangkatan, atau ikrar penyerahan kekuasaan umat pada khalifah untuk menerapkan syariat Islam atas umat, dan bukan untuk membuat standard benar-salah. Mengenai sejauh mana keterlibatan umat dalam ikrar baiat pengangkatan, itu juga merupakan aspek praktis yang diserahkan pada umat.


Denouncing Democracy

Sederhananya, demokrasi haram karena merupakan buatan manusia. Namun, perlu diingat bahwa karya manusia itu meliputi dua hal, yakni perkara teknis (teknik bertahan hidup) dan perkara non-teknis (interaksi antarmanusia). (Tentang dua macam perkara ini, silakan lihat Tentang Manusia.) Perkara teknis dapat diselesaikan dengan akal, namun perkara non-teknis harus diselesaikan dengan aturan dari Pencipta.

Demokrasi bukan perkara teknis. Dalam demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Padahal, dalam Islam, kedaulatan hanya ada di tangan Pencipta. Manusia hanya berkuasa untuk menerapkan aturan yang sudah ada, bukan membuat sendiri aturan. Inilah alasannya, secara lebih mendalam, dikatakan bahwa Islam dan demokrasi itu pada dasarnya dua hal yang sangat kontras.


Exacerbating Examples

Ada kalangan yang berpendapat bahwa proses pengangkatan sejumlah khalifah melalui proses rapat atau pemilihan langsung menunjukkan bahwa didalam Islam pun terkandung ajaran-ajaran demokrasi. Benarkah demikian?

Kejadian pemilihan khalifah bukanlah contoh penerapan demokrasi. Yang terjadi hanyalah aspek teknis, yakni cara menentukan khalifah. Dalam sejarah Islam, dapat dijumpai bahwa cara menentukan khalifah banyak ragamnya, dari perundingan oleh suatu majelis, survey atas umat, hingga pemaksaan oleh rezim penguasa. Sementara itu, aspek filosofis khilafah, sejak masa khalifah pertama hingga terakhir, tidak pernah berubah dan sama sekali berbeda dengan sistem republik atau demokrasi. Inti demokrasi bukan keterwakilan saja, tetapi juga berdaulat dan berkuasanya rakyat.

Dalam Islam, memang dikenal adanya lembaga perwakilan rakyat, atau yang dikenal dengan istilah majelis umat. Namun, majelis umat tidak menjalankan fungsi legislatif, atau pembuatan standard benar-salah. Fungsi yang dijalankan oleh majelis umat yaitu kontrol dan nasihat atas penerapan Islam. Memang adakalanya majelis umat tidak berfungsi atau bahkan ditiadakan, namun majelis umat tidak pernah membuat standard benar-salah.[5][6][7][8]

Ada juga yang berpendapat bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang dijalankan oleh peradaban Islam dulu yaitu sistem kerajaan. Benarkah demikian?

Telah dipaparkan bahwa dalam sistem kerajaan, kedaulatan dan kekuasaan berada sepenuhnya di tangan kepala negara. Kepala negara merupakan pihak yang berhak menentukan standard benar-salah sekaligus menerapkannya dalam pemerintahan. Kepala negara juga berhak mengalihkan kekuasaan pada pihak yang dikehendakinya, seperti putera mahkota. Adanya lembaga penasihat pada dasarnya tidak mengurangi kedaulatan dan kekuasaan kepala negara suatu kerajaan.

Ada dua lembaga yang secara praktis mencerminkan sistem apa yang digunakan oleh suatu institusi negara, yakni lembaga peradilan dan lembaga penguasa. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak masa Rasulullah ﷺ hingga saat Dawlah Khilafah Islamiyyah jatuh ke tangan penjajah pada tahun 1918, para hakim telah menyelesaikan segala perkara berdasarkan syariat Islam. Pun para penguasa Islam, sepanjang masa Dawlah Khilafah Islamiyyah, selalu mengatur aspek kemasyarakatan, ekonomi, pengajaran, politik dalam dan luar negeri, serta aspek kekuasaan berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejak masa Rasulullah ﷺ hingga akhir masa Dawlah Khilafah Islamiyyah, syariat Islamlah yang digunakan untuk mengatur kehidupan warganegara Dawlah Khilafah Islamiyyah.[9][10][11]

Dua masalah yang kerap terjadi dalam peradaban Islam, terutama setelah masa Khulafa' Ar Rasyidin, yaitu kemaksiatan penguasa dan pemaksaan penyerahan kekuasaan. Kemaksiatan penguasa nampak pada rusaknya kepribadian penguasa, keluarganya, atau pejabat-pejabatnya. Sementara itu, pemaksaan penyerahan kekuasaan nampak pada dipaksanya ulama atau umat membaiat keturunan penguasa sebagai penguasa baru, baik dengan tekanan fisik maupun dengan tekanan pemikiran melalui pemalsuan dalil. Tentu saja baik kemaksiatan penguasa maupun pemaksaan penyerahan kekuasaan merupakan perkara serius. Namun demikian, adanya dua masalah tadi dalam peradaban Islam sama sekali tidak menunjukkan bahwa peradaban Islam berbentuk kerajaan.[12][13] Ketika dua masalah serius tadi terjadi dalam peradaban Islam, pergaulan Islam masih terjaga, ekonomi Islam masih tegak, pengajaran Islam masih berlangsung, dakwah dan jihad masih dilaksanakan, serta baiat masih diperlukan untuk mengangkat khalifah. Bentuk pemerintahan peradaban Islam zaman dulu bukan kerajaan.


Rujukan

[1] 'Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya (Ad Dimuqaratiyyatu Nizhamu Kufrin Yahrumu Akhdzaha aw Tathbiqiha aw Ad Da'wata Ilayha), terj. Muhammad Shiddiq Al Jawi, hlm. 6-7, 10, 13, 59-60
[2] Ibid., hlm. 7-8, 14
[3] Ibid., hlm. 11
[4] Ibid., hlm. 10
[5] 'Abdul Aziz Al Badri, Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa (Al Islam bayna Al 'Ulama wa Al Hukkam), terj. Munirul Abidin (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 6-7
[6] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual (Singapore: Penerbit Lisan Ul-Haq, 1998), hlm. 226-227
[7] Taqiyuddin An Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham Al Islam), terj. Abu Amin dkk. (Bogor: Pustaka Thariqul 'Izzah, 2003), hlm. 68-69
[8] Zallum, op.cit., hlm. 83
[9] Abdurrahman, op.cit., hlm. 21-24
[10] Al Badri, op.cit., hlm. 3-7
[11] An Nabhani, op.cit., hlm. 63-69
[12] Al Badri, op.cit., hlm. 7-12
[13] An Nabhani, op.cit., hlm. 69-70, 74-79

Tidak ada komentar: