Jumat, 21 Agustus 2009

Bulan yang Jadi Bulan-Bulanan

Biasanya menjelang awal dan akhir Ramadhan dan Syawal, ada perasaan senang karena akan melaksanakan puasa dan akan berhari raya. Namun terkadang terutama bagi khalayak awam, ada juga perasaan bingung tentang kapan puasa diawali dan diakhiri. Tentu saja pada tataran praktis dengan kualitas pertimbangan bagaimanapun, khalayak tinggal mengikuti pendapat yang mereka lebih cenderung padanya. Pun sebenarnya suasana menjelang Idul Adha diiringi juga dengan perasaan bingung, walaupun mungkin tidak sebingung ketika Ramadhan dan Syawal.

Lazimnya, pendapat yang ditandingkan yaitu penentuan waktu dengan 1) perhitungan dan dengan 2) pengamatan atau rukyat. Di materi ini, akan penulis paparkan pertimbangan yang menyertai ketiga pendapat. Ya, sebenarnya ada tiga pendapat yaitu digunakannya 1) perhitungan, 2) rukyat lokal, dan 3) rukyat global untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan serta Idul Adha.


'Ibadah in Islam

Islam mencakup akidah dan syariat. Akidah meliputi perkara-perkara keimanan, sedangkan syariat meliputi perkara-perkara praktis. Termasuk dalam syariat yaitu hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, ekonomi, pemerintahan, pergaulan, peradilan, sanksi, dakwah, dan jihad.

Ibadah merupakan bentuk interaksi manusia dengan Allah. Padahal, hanya Allah yang tahu mengenai diri-Nya. Dengan demikian, teknis pelaksanaan ibadah sepenuhnya merupakan wewenang Allah. Ekstremnya, kalau Allah sama sekali tidak menerangkan adanya aktivitas ibadah, maka manusia tidak boleh mengadakan aktivitas ibadah.

Jadi dalam hal ibadah, segala hal mengenai pelaksanaanya harus merujuk pada dalil. Hukum asal ibadah yaitu haram kecuali ada dalil yang menerangkannya.


The Beginning and The End

Ramadhan dan Syawal ditentukan berdasarkan rukyat, atau pengamatan, hilal atau Bulan sabit pertama dan bukan perhitungan. Berikut dalil untuk kesimpulan tersebut.

صـومـوا لـرؤيـتـه و أفـطـروا لـرؤيـتـه فـإن غـبـي عـلـيـكـم فـأكـمـلـوا عـدة شـعـبـان ثـلاثـيـن (صـحـيـح بـخـارى/١١/١٥: ١٧٧٥)
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (Shahih Bukhari/XV/11: 1775)

Makna serupa dengan hadits di atas dapat dijumpai dalam Shahih Bukhari/XV/11: 1772-1773, Shahih Muslim/XIII/2: 1787-1792, 1800-1803, Sunan An Nasai/XXII/9/10/11/12/13: 2087-2100, Sunan Abi Daud/VIII/6/7: 1980-1982, dan Sunan Ibnu Majah/VIII/7: 1643-1644.


Astronomical Estimate

Ramadhan dan Syawal ditentukan dengan rukyat hilal. Kalau begitu, apa peran perhitungan astronomis dalam penentuan Ramadhan dan Syawal?

Perhitungan astronomis hanya boleh digunakan untuk menentukan kapan dan di mana rukyat hilal dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengantisipasi kemungkinan keterlambatan rukyat hilal, pengamatan fase Bulan dapat dilakukan sejak sehari sebelum tanggal terjadinya konjungsi Bulan menurut perhitungan.

Akurasi perhitungan astronomi modern memang tinggi, namun laporan penampakan hilal tetap dibutuhkan untuk mengawali atau mengakhiri Ramadhan.


Local Look

Ada yang berpendapat bahwa tiap tempat di Bumi memiliki tempat terbit hilal sendiri-sendiri. Konsekuensi dari pendapat ini yaitu tiap tempat bisa memiliki hasil pengamatan hilal yang berbeda satu sama lain dan berlaku untuk tempat yang bersangkutan. Pendapat ini didasarkan pada hadits berikut.

أن أم فـضـل بـنـت الـحـارث بـعـثـتـه إلـى مـعـاويـة بـالـشـام قـال فـقـدمـت الـشـام فـقـضـيـت حـاجـتـهـا و إسـتـهـل عـلـي رمـاضـان و أنـا بـالـشـام فـرأيـت الـهـلال لـيـلـة الـجـمـعـة ثـم قـدمـت الـمـديـنـة فـي آخـر الـشـهـر فـسـألـنـي عـبـدالله بـن عـبـاس رضـي الله عـنـهـمـا ثـم ذكـر الـهـلال فـقـال مـتـى رأيـتـم الـهـلال فـقـلـت رأيـنـاه لـيـلـة الـجـمـعـة فـقـال أنـت رأيـتـه فـقـلـت نـعـم و رآه الـنـاس و صـامـوا صـام مـعـاويـة فـقـال لـكـنـا رأيـنـاه لـيـلـة الـسـبت فـلا نـزال نـصـوم حـتـى نـكـمـل ثـلاثـيـن أو نـراه فـقـلـت أو لا تـكـتـفـي بـرؤيـة مـعـاويـة و صـيـامـه فـقـل لا هـكـذا أمـرنـا رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم (صـحـيـح مـسـلـم/٥/١٣: ١٨١٩، سـنـن أبـي داوود/٩/٨: ١٩٨٥)
"Ummu Fadhli, puteri Harits, mengutusnya (Fadhli) menemui Mu'awiyah di Syam. Fadhli berkata, "Aku (Fadhli) tiba di Syam dan menyelesaikan urusan (ibunya). Ternyata Ramadhan tiba dan aku masih di Syam. Aku melihat hilal Ramadhan pada malam Jumat. Aku masuk Madinah pada akhir Ramadhan. 'Abdullah bin 'Abbas bertanya kapan aku melihat hilal Ramadhan. Kukatakan aku melihatnya pada malam Jumat. Ibnu 'Abbas bertanya apakah aku melihat sendiri hilal. Kujawab aku melihatnya, begitu juga orang-orang. Mereka berpuasa dan begitu juga Mu'awiyah. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa dia melihat hilal Ramadhan pada malam Sabtu sehingga akan menggenapkan puasa 30 hari atau hingga hilal Syawal terlihat. Aku bertanya tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Mu'awiyah. Ibnu 'Abbas menjawab, "Tidak, sebab demikianlah Rasulullah memerintahkan.""" (Shahih Muslim/XIII/5: 1811, Sunan An Nasai/XXII/7: 2083, Sunan Abi Daud/VIII/9: 1985)

Pengamalan hadits di atas memiliki dua kelemahan. Kelemahan pertama yaitu masih diragukannya maksud tindakan yang dirujukkan pada Rasulullah. Jawaban Ibnu 'Abbas, "La, hakadza amarana Rasulullah," atau, "Tidak, sebab demikianlah Rasulullah telah memerintahkan pada kami," muncul sebagai tanggapan atas peristiwa yang disampaikan pada Ibnu 'Abbas. Yang jadi masalah yaitu apakah yang dimaksud yaitu 1) merujuk pada rukyat atau 2) merujuk pada rukyat lokal.

Kelemahan kedua yaitu akan munculnya masalah, "Berapa jarak paling dekat sehingga perbedaan awal Ramadhan atau Syawal diizinkan?" seandainya rukyat lokal diamalkan. Pun ulama yang mengamalkan rukyat lokal berbeda pendapatnya mengenai masalah ini. Ada yang berpendapat jaraknya sama dengan jarak qashar. Ada juga yang berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit hilal boleh diadakan untuk daerah-daerah yang berbeda iklimnya. Yang pasti, semua usulan standard jarak minimum tadi sama sekali tidak ada penjelasannya dalam nash-nash syar'i.


Global Glory

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa rukyat hilal berlaku global. Laporan penampakan hilal dari satu daerah saja di muka Bumi sudah cukup untuk mengawali atau mengakhiri Ramadhan. Berikut dasar dari pendapat tersebut.

أنـهـم شـكـوا فـي هـلال رمـضـان مـرة فـأرادو أن لا يـقـومـوا و لا يـصـومـوا فـجـاء أعـربـي مـن الـحـرة فـشـهـد أنـه رأى الـهـلال فـأتـي بـه الـنـبـي صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم فـقـال أتـشـهـد أن لا إلـه إلا الله و أنـي رسـول الله قـال نـعـم و شـهـد أنـه رأى الـهـلال فـأمـر بـلال فـنـدى فـي الـنـاس أن يـقـومـوا و أن يـصـومـوا (سـنـن أبـي داوود/١٤/٨: ١٩٩٤)
"Suatu ketika orang-orang meragukan penampakan hilal Ramadhan sehingga tidak hendak salat tarawih atau puasa. Seorang Badui datang dari Al Harrah dan bersaksi bahwa dia melihat hilal. Dia diantarkan ke Rasulullah . Rasulullah bertanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa saya utusan Allah?" Badui itu menjawab, "Ya." Dia juga bersaksi bahwa dia melihat hilal. Rasulullah lalu menyuruh Bilal menyeru orang-orang salat tarawih dan puasa." (Sunan Abi Daud/VIII/14: 1994)

Makna serupa dengan hadits di atas dapat dijumpai dalam Sunan An Nasai/XXII/8: 2084-2085, Sunan Abi Daud/VIII/13/14: 1992-1995, dan Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1641.

Pendapat berlaku globalnya rukyat hilal dikuatkan oleh hadits berikut.

أغـمـي عـلـيـنـا هـلال شـوال فـأصـبـحـنـا صـيـامـا فـجـاء ركـب مـن آخـر الـنـهـار فـشـهـدوا عـنـد الـنـبـي صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أنـهـم رأوا الـهـلال بـالامـس فـأمـرهـم رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أن يـفـطـروا و أن يـخـرجـوا إلـى عـيـدهـم مـن الـغـد (سـنـن إبـن مـاجـة/٦/٨: ١٦٤٢)
"Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari, datanglah beberapa musafir. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah memerintahkan mereka (kaum muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan salat id pada keesokan harinya." (Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1642)

Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah sama sekali tidak menghiraukan asal pelapor hasil rukyat. Lebih jauh lagi bahkan, hadits Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1642 telah menerangkan apa yang harus dilakukan jika menerima kabar penampakan hilal pada hari yang berbeda. Informasi ini sangat bernilai karena pengamalan rukyat global memungkinkan diterimanya kepastian hasil rukyat pada keesokan harinya.


Concurring Consequence

Dapatkah hilal teramati di suatu tempat tapi tidak teramati di tempat lain? Ini dapat terjadi.

Pada dasarnya, semua benda langit memiliki gerak diri masing-masing. Bulan, dibandingkan benda langit lain terutama Matahari, bergerak ke timur dengan laju sekitar 13° tiap 24 jam atau sekitar 3° tiap 6 jam. Dengan kata lain jika hanya perbedaan waktu lokal di muka Bumi yang diperhitungkan, selisih waktu lokal sebesar 6 jam sudah cukup untuk "menggeser" Bulan menjauhi Matahari sejauh sekitar 3°.

Dengan adanya "masalah" di atas, masih dapat diterimakah klaim rukyat global? Klaim rukyat global jelas dapat diterima tanpa menghiraukan masalah di atas. Dalam hal ini, kekuatan klaim ditentukan oleh kekuatan dalil, bukan oleh fakta empiris. Masalah di atas justru merupakan tantangan bagi muslim, yang kini tersebar dari Nusantara, memutari Bumi hingga Nusantara lagi, untuk mengembangkan sistem komunikasi global. Ini sama saja dengan dikembangkannya ilmu geografi, astronomi, dan navigasi di masa lalu oleh muslimin untuk memudahkan dakwah dan jihad.

Ada masalah yang menjadikan rukyat global sukar diterapkan, yaitu sekat nasionalisme. Muslimin di sebagian daerah Sumatera, yang zona waktu lokalnya sama dengan zona waktu lokal sebagian Malaysia, bisa jadi memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan bersamaan dengan muslimin di Papua tapi tidak bersamaan dengan muslimin di Malaysia. Kalau ini masalahnya, sains dan teknologi tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan. Hanya otoritas global yang ikatannya bukan nasionalisme saja yang mampu menyatukan umat Islam di berbagai tempat di Bumi.


May Mecca Measure It

Untuk menentukan Idul Fitri terlepas dari pembahasan kekuatan kesimpulan, ada ulama yang menerapkan rukyat lokal dan ada yang menerapkan rukyat global. Namun, perbedaan semacam ini seharusnya tidak ada pada penentuan Idul Adha.

Silakan simak hadits berikut!

أن أمـيـر مـكـة خـطـب ثـم قـال عـهـد إلـيـنـا رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أن نـنـسـك لـلـرؤيـة فـإن لـم نـره و شـهـد شـاهـدا عـدل نـسـكـنـا بـشـهـادتـهـمـا (سـنـن أبـي داوود/١٣/٨: ١٩٩١)
"Amir Mekah pernah berkhutbah dan berkata, "Rasulullah mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya."" (Sunan Abi Daud/VIII/13: 1991)

Dalam hadits di atas, dinyatakan bahwa penguasa Mekahlah yang diberi amanat melaksanakan manasik haji. Pun waktu pelaksanaan manasik haji merujuk pada rukyat pihak yang memerintah Mekah, bukan Madinah, Kairo, Aceh, atau Makasar. Seruan ini berlaku umum tanpa menghiraukan kondisi penguasa Mekah, apakah sah atau tidak, apakah zalim atau adil.

Simak juga hadits berikut!

أن رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم نـهـى عـن صـوم يـوم عـرفـة بـعـرفـة (سـنـن أبـي داوود/٦٣/٨: ٢٠٨٤)
"Sesungguhnya Rasulullah telah melarang puasa pada Hari Arafah di Arafah." (Sunan Abi Daud/VIII/63: 2084)

Hadits di atas berkaitan dengan puasa sunah Arafah bagi yang bukan jamaah haji. Puasa Arafah dilaksanakan pada saat jamaah haji wukuf di Arafah. Padahal, penentuan saat wukuf diserahkan pada pihak yang memerintah Mekah. Jadi Idul Adha, yang pelaksanaannya sehari setelah hari wukuf, pun dilaksanakan saat jamaah haji menyembelih hewan kurban, yang lagi-lagi tentunya dilaksanakan pada hari yang telah ditentukan oleh penguasa Mekah. Muslimin di seluruh dunia harus mengetahui hal ini karena puasa tidak boleh dilakukan pada hari Idul Adha dan hari Tasyriq.

Dengan demikian, muslimin di manapun boleh melakukan rukyat hilal Dzulhijjah, tapi mereka harus melaksanakan puasa Arafah dan Idul Adha bersamaan dengan wukuf dan penyembelihan hewan kurban jamaah haji. Sesungguhnya waktu dan tempat haji itu sudah jelas dan tidak ada perbedaan mengenainya.

Dapatkah penguasa Mekah melakukan kesalahan dalam menentukan saat manasik haji? Ini bisa terjadi. Terjadinya hal ini tidak menggugurkan kewajiban merujuk pada penguasa Mekah dalam berpuasa Arafah dan berhari raya Idul Adha. Justru yang harus dilakukan yaitu melaksanakan aktivitas tambahan, yakni mengoreksi dan mengevaluasi penguasa Mekah. Sayangnya selama umat Islam masih terkotak-kotak dalam puluhan sekat nasionalisme, evaluasi dan koreksi untuk penguasa Mekah sukar dijalankan.