Jumat, 21 Agustus 2009

Bulan yang Jadi Bulan-Bulanan

Biasanya menjelang awal dan akhir Ramadhan dan Syawal, ada perasaan senang karena akan melaksanakan puasa dan akan berhari raya. Namun terkadang terutama bagi khalayak awam, ada juga perasaan bingung tentang kapan puasa diawali dan diakhiri. Tentu saja pada tataran praktis dengan kualitas pertimbangan bagaimanapun, khalayak tinggal mengikuti pendapat yang mereka lebih cenderung padanya. Pun sebenarnya suasana menjelang Idul Adha diiringi juga dengan perasaan bingung, walaupun mungkin tidak sebingung ketika Ramadhan dan Syawal.

Lazimnya, pendapat yang ditandingkan yaitu penentuan waktu dengan 1) perhitungan dan dengan 2) pengamatan atau rukyat. Di materi ini, akan penulis paparkan pertimbangan yang menyertai ketiga pendapat. Ya, sebenarnya ada tiga pendapat yaitu digunakannya 1) perhitungan, 2) rukyat lokal, dan 3) rukyat global untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan serta Idul Adha.


'Ibadah in Islam

Islam mencakup akidah dan syariat. Akidah meliputi perkara-perkara keimanan, sedangkan syariat meliputi perkara-perkara praktis. Termasuk dalam syariat yaitu hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, ekonomi, pemerintahan, pergaulan, peradilan, sanksi, dakwah, dan jihad.

Ibadah merupakan bentuk interaksi manusia dengan Allah. Padahal, hanya Allah yang tahu mengenai diri-Nya. Dengan demikian, teknis pelaksanaan ibadah sepenuhnya merupakan wewenang Allah. Ekstremnya, kalau Allah sama sekali tidak menerangkan adanya aktivitas ibadah, maka manusia tidak boleh mengadakan aktivitas ibadah.

Jadi dalam hal ibadah, segala hal mengenai pelaksanaanya harus merujuk pada dalil. Hukum asal ibadah yaitu haram kecuali ada dalil yang menerangkannya.


The Beginning and The End

Ramadhan dan Syawal ditentukan berdasarkan rukyat, atau pengamatan, hilal atau Bulan sabit pertama dan bukan perhitungan. Berikut dalil untuk kesimpulan tersebut.

صـومـوا لـرؤيـتـه و أفـطـروا لـرؤيـتـه فـإن غـبـي عـلـيـكـم فـأكـمـلـوا عـدة شـعـبـان ثـلاثـيـن (صـحـيـح بـخـارى/١١/١٥: ١٧٧٥)
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (Shahih Bukhari/XV/11: 1775)

Makna serupa dengan hadits di atas dapat dijumpai dalam Shahih Bukhari/XV/11: 1772-1773, Shahih Muslim/XIII/2: 1787-1792, 1800-1803, Sunan An Nasai/XXII/9/10/11/12/13: 2087-2100, Sunan Abi Daud/VIII/6/7: 1980-1982, dan Sunan Ibnu Majah/VIII/7: 1643-1644.


Astronomical Estimate

Ramadhan dan Syawal ditentukan dengan rukyat hilal. Kalau begitu, apa peran perhitungan astronomis dalam penentuan Ramadhan dan Syawal?

Perhitungan astronomis hanya boleh digunakan untuk menentukan kapan dan di mana rukyat hilal dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengantisipasi kemungkinan keterlambatan rukyat hilal, pengamatan fase Bulan dapat dilakukan sejak sehari sebelum tanggal terjadinya konjungsi Bulan menurut perhitungan.

Akurasi perhitungan astronomi modern memang tinggi, namun laporan penampakan hilal tetap dibutuhkan untuk mengawali atau mengakhiri Ramadhan.


Local Look

Ada yang berpendapat bahwa tiap tempat di Bumi memiliki tempat terbit hilal sendiri-sendiri. Konsekuensi dari pendapat ini yaitu tiap tempat bisa memiliki hasil pengamatan hilal yang berbeda satu sama lain dan berlaku untuk tempat yang bersangkutan. Pendapat ini didasarkan pada hadits berikut.

أن أم فـضـل بـنـت الـحـارث بـعـثـتـه إلـى مـعـاويـة بـالـشـام قـال فـقـدمـت الـشـام فـقـضـيـت حـاجـتـهـا و إسـتـهـل عـلـي رمـاضـان و أنـا بـالـشـام فـرأيـت الـهـلال لـيـلـة الـجـمـعـة ثـم قـدمـت الـمـديـنـة فـي آخـر الـشـهـر فـسـألـنـي عـبـدالله بـن عـبـاس رضـي الله عـنـهـمـا ثـم ذكـر الـهـلال فـقـال مـتـى رأيـتـم الـهـلال فـقـلـت رأيـنـاه لـيـلـة الـجـمـعـة فـقـال أنـت رأيـتـه فـقـلـت نـعـم و رآه الـنـاس و صـامـوا صـام مـعـاويـة فـقـال لـكـنـا رأيـنـاه لـيـلـة الـسـبت فـلا نـزال نـصـوم حـتـى نـكـمـل ثـلاثـيـن أو نـراه فـقـلـت أو لا تـكـتـفـي بـرؤيـة مـعـاويـة و صـيـامـه فـقـل لا هـكـذا أمـرنـا رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم (صـحـيـح مـسـلـم/٥/١٣: ١٨١٩، سـنـن أبـي داوود/٩/٨: ١٩٨٥)
"Ummu Fadhli, puteri Harits, mengutusnya (Fadhli) menemui Mu'awiyah di Syam. Fadhli berkata, "Aku (Fadhli) tiba di Syam dan menyelesaikan urusan (ibunya). Ternyata Ramadhan tiba dan aku masih di Syam. Aku melihat hilal Ramadhan pada malam Jumat. Aku masuk Madinah pada akhir Ramadhan. 'Abdullah bin 'Abbas bertanya kapan aku melihat hilal Ramadhan. Kukatakan aku melihatnya pada malam Jumat. Ibnu 'Abbas bertanya apakah aku melihat sendiri hilal. Kujawab aku melihatnya, begitu juga orang-orang. Mereka berpuasa dan begitu juga Mu'awiyah. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa dia melihat hilal Ramadhan pada malam Sabtu sehingga akan menggenapkan puasa 30 hari atau hingga hilal Syawal terlihat. Aku bertanya tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Mu'awiyah. Ibnu 'Abbas menjawab, "Tidak, sebab demikianlah Rasulullah memerintahkan.""" (Shahih Muslim/XIII/5: 1811, Sunan An Nasai/XXII/7: 2083, Sunan Abi Daud/VIII/9: 1985)

Pengamalan hadits di atas memiliki dua kelemahan. Kelemahan pertama yaitu masih diragukannya maksud tindakan yang dirujukkan pada Rasulullah. Jawaban Ibnu 'Abbas, "La, hakadza amarana Rasulullah," atau, "Tidak, sebab demikianlah Rasulullah telah memerintahkan pada kami," muncul sebagai tanggapan atas peristiwa yang disampaikan pada Ibnu 'Abbas. Yang jadi masalah yaitu apakah yang dimaksud yaitu 1) merujuk pada rukyat atau 2) merujuk pada rukyat lokal.

Kelemahan kedua yaitu akan munculnya masalah, "Berapa jarak paling dekat sehingga perbedaan awal Ramadhan atau Syawal diizinkan?" seandainya rukyat lokal diamalkan. Pun ulama yang mengamalkan rukyat lokal berbeda pendapatnya mengenai masalah ini. Ada yang berpendapat jaraknya sama dengan jarak qashar. Ada juga yang berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit hilal boleh diadakan untuk daerah-daerah yang berbeda iklimnya. Yang pasti, semua usulan standard jarak minimum tadi sama sekali tidak ada penjelasannya dalam nash-nash syar'i.


Global Glory

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa rukyat hilal berlaku global. Laporan penampakan hilal dari satu daerah saja di muka Bumi sudah cukup untuk mengawali atau mengakhiri Ramadhan. Berikut dasar dari pendapat tersebut.

أنـهـم شـكـوا فـي هـلال رمـضـان مـرة فـأرادو أن لا يـقـومـوا و لا يـصـومـوا فـجـاء أعـربـي مـن الـحـرة فـشـهـد أنـه رأى الـهـلال فـأتـي بـه الـنـبـي صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم فـقـال أتـشـهـد أن لا إلـه إلا الله و أنـي رسـول الله قـال نـعـم و شـهـد أنـه رأى الـهـلال فـأمـر بـلال فـنـدى فـي الـنـاس أن يـقـومـوا و أن يـصـومـوا (سـنـن أبـي داوود/١٤/٨: ١٩٩٤)
"Suatu ketika orang-orang meragukan penampakan hilal Ramadhan sehingga tidak hendak salat tarawih atau puasa. Seorang Badui datang dari Al Harrah dan bersaksi bahwa dia melihat hilal. Dia diantarkan ke Rasulullah . Rasulullah bertanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa saya utusan Allah?" Badui itu menjawab, "Ya." Dia juga bersaksi bahwa dia melihat hilal. Rasulullah lalu menyuruh Bilal menyeru orang-orang salat tarawih dan puasa." (Sunan Abi Daud/VIII/14: 1994)

Makna serupa dengan hadits di atas dapat dijumpai dalam Sunan An Nasai/XXII/8: 2084-2085, Sunan Abi Daud/VIII/13/14: 1992-1995, dan Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1641.

Pendapat berlaku globalnya rukyat hilal dikuatkan oleh hadits berikut.

أغـمـي عـلـيـنـا هـلال شـوال فـأصـبـحـنـا صـيـامـا فـجـاء ركـب مـن آخـر الـنـهـار فـشـهـدوا عـنـد الـنـبـي صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أنـهـم رأوا الـهـلال بـالامـس فـأمـرهـم رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أن يـفـطـروا و أن يـخـرجـوا إلـى عـيـدهـم مـن الـغـد (سـنـن إبـن مـاجـة/٦/٨: ١٦٤٢)
"Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari, datanglah beberapa musafir. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah memerintahkan mereka (kaum muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan salat id pada keesokan harinya." (Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1642)

Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah sama sekali tidak menghiraukan asal pelapor hasil rukyat. Lebih jauh lagi bahkan, hadits Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1642 telah menerangkan apa yang harus dilakukan jika menerima kabar penampakan hilal pada hari yang berbeda. Informasi ini sangat bernilai karena pengamalan rukyat global memungkinkan diterimanya kepastian hasil rukyat pada keesokan harinya.


Concurring Consequence

Dapatkah hilal teramati di suatu tempat tapi tidak teramati di tempat lain? Ini dapat terjadi.

Pada dasarnya, semua benda langit memiliki gerak diri masing-masing. Bulan, dibandingkan benda langit lain terutama Matahari, bergerak ke timur dengan laju sekitar 13° tiap 24 jam atau sekitar 3° tiap 6 jam. Dengan kata lain jika hanya perbedaan waktu lokal di muka Bumi yang diperhitungkan, selisih waktu lokal sebesar 6 jam sudah cukup untuk "menggeser" Bulan menjauhi Matahari sejauh sekitar 3°.

Dengan adanya "masalah" di atas, masih dapat diterimakah klaim rukyat global? Klaim rukyat global jelas dapat diterima tanpa menghiraukan masalah di atas. Dalam hal ini, kekuatan klaim ditentukan oleh kekuatan dalil, bukan oleh fakta empiris. Masalah di atas justru merupakan tantangan bagi muslim, yang kini tersebar dari Nusantara, memutari Bumi hingga Nusantara lagi, untuk mengembangkan sistem komunikasi global. Ini sama saja dengan dikembangkannya ilmu geografi, astronomi, dan navigasi di masa lalu oleh muslimin untuk memudahkan dakwah dan jihad.

Ada masalah yang menjadikan rukyat global sukar diterapkan, yaitu sekat nasionalisme. Muslimin di sebagian daerah Sumatera, yang zona waktu lokalnya sama dengan zona waktu lokal sebagian Malaysia, bisa jadi memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan bersamaan dengan muslimin di Papua tapi tidak bersamaan dengan muslimin di Malaysia. Kalau ini masalahnya, sains dan teknologi tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan. Hanya otoritas global yang ikatannya bukan nasionalisme saja yang mampu menyatukan umat Islam di berbagai tempat di Bumi.


May Mecca Measure It

Untuk menentukan Idul Fitri terlepas dari pembahasan kekuatan kesimpulan, ada ulama yang menerapkan rukyat lokal dan ada yang menerapkan rukyat global. Namun, perbedaan semacam ini seharusnya tidak ada pada penentuan Idul Adha.

Silakan simak hadits berikut!

أن أمـيـر مـكـة خـطـب ثـم قـال عـهـد إلـيـنـا رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم أن نـنـسـك لـلـرؤيـة فـإن لـم نـره و شـهـد شـاهـدا عـدل نـسـكـنـا بـشـهـادتـهـمـا (سـنـن أبـي داوود/١٣/٨: ١٩٩١)
"Amir Mekah pernah berkhutbah dan berkata, "Rasulullah mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya."" (Sunan Abi Daud/VIII/13: 1991)

Dalam hadits di atas, dinyatakan bahwa penguasa Mekahlah yang diberi amanat melaksanakan manasik haji. Pun waktu pelaksanaan manasik haji merujuk pada rukyat pihak yang memerintah Mekah, bukan Madinah, Kairo, Aceh, atau Makasar. Seruan ini berlaku umum tanpa menghiraukan kondisi penguasa Mekah, apakah sah atau tidak, apakah zalim atau adil.

Simak juga hadits berikut!

أن رسـول الله صـلـى الله عـلـيـه و سـلـم نـهـى عـن صـوم يـوم عـرفـة بـعـرفـة (سـنـن أبـي داوود/٦٣/٨: ٢٠٨٤)
"Sesungguhnya Rasulullah telah melarang puasa pada Hari Arafah di Arafah." (Sunan Abi Daud/VIII/63: 2084)

Hadits di atas berkaitan dengan puasa sunah Arafah bagi yang bukan jamaah haji. Puasa Arafah dilaksanakan pada saat jamaah haji wukuf di Arafah. Padahal, penentuan saat wukuf diserahkan pada pihak yang memerintah Mekah. Jadi Idul Adha, yang pelaksanaannya sehari setelah hari wukuf, pun dilaksanakan saat jamaah haji menyembelih hewan kurban, yang lagi-lagi tentunya dilaksanakan pada hari yang telah ditentukan oleh penguasa Mekah. Muslimin di seluruh dunia harus mengetahui hal ini karena puasa tidak boleh dilakukan pada hari Idul Adha dan hari Tasyriq.

Dengan demikian, muslimin di manapun boleh melakukan rukyat hilal Dzulhijjah, tapi mereka harus melaksanakan puasa Arafah dan Idul Adha bersamaan dengan wukuf dan penyembelihan hewan kurban jamaah haji. Sesungguhnya waktu dan tempat haji itu sudah jelas dan tidak ada perbedaan mengenainya.

Dapatkah penguasa Mekah melakukan kesalahan dalam menentukan saat manasik haji? Ini bisa terjadi. Terjadinya hal ini tidak menggugurkan kewajiban merujuk pada penguasa Mekah dalam berpuasa Arafah dan berhari raya Idul Adha. Justru yang harus dilakukan yaitu melaksanakan aktivitas tambahan, yakni mengoreksi dan mengevaluasi penguasa Mekah. Sayangnya selama umat Islam masih terkotak-kotak dalam puluhan sekat nasionalisme, evaluasi dan koreksi untuk penguasa Mekah sukar dijalankan.

Sabtu, 13 Juni 2009

Gara-Gara Gravitasi

Bagi banyak manusia zaman modern, jarang sekali pola perubahan posisi benda langit dianggap penting. Bagaimana tidak demikian? Toh untuk mengetahui waktu lokal, telah ada jam elektronik. Untuk mendapatkan makanan, telah ada beragam upaya intensifikasi, ekstensifikasi, serta pemasaran sehingga kebanyakan manusia tidak menaruh perhatian pada pergantian musim. Untuk bepergian, telah ada berbagai-bagai sarana angkutan yang bukan hanya tidak tergantung cuaca, namun bahkan juga sanggup menahan hempasan gelombang. Merupakan hal yang lumrah jika kebanyakan manusia modern jarang mengerahkan kemampuan berpikirnya untuk memeriksa perubahan posisi benda langit. Meskipun demikian, ada masanya pengetahuan perubahan posisi benda langit sedemikian lazim, seperti lazimnya komputer, televisi, internet, atau pasar swalayan di zaman modern.

Sejak dulu, manusia telah mengamati bahwa posisi kebanyakan benda-benda langit mengalami perubahan. Perubahan tersebut bersifat berulang, baik harian maupun tahunan. Manusia juga telah mengamati bahwa pola cuaca, pola migrasi dan perkembangbiakan hewan, atau pola perbenihan tumbuhan juga bersifat berulang. Merupakan hal yang lumrah jika kemudian manusia, terutama zaman dulu, ingin mempelajari pola perubahan posisi benda-benda langit sebagai alat bantu penentu ritme aktivitas sehari-hari.


Gambar 1. Simulasi sebagian dari belahan timur langit Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY, dengan koordinat 7°46'48" LS dan 107°23'45" BT, pada tanggal 12 Juni 2009 pukul 08:00:02 (atas) dan 22:28:37 (bawah). Simulasi dihasilkan menggunakan perangkat lunak Stellarium.

Veracious Visions

Manusia dilahirkan, tumbuh, dan beraktivitas di Bumi. Karena itu, pandangan awal manusia mengenai langit yaitu bahwa benda-benda langit bergerak mengelilingi Bumi. Begitulah yang menjadi anggapan Eudoxus (400-347 BCE), astronom Yunani.[1]

Benarkah anggapan Eudoxus? Pada masanya, tidak ada yang bisa memastikan kebenaran model Eudoxus. Namun, model Eudoxus jelas dapat digunakan untuk memprediksi pola perubahan posisi benda langit. Dengan demikian, digunakanlah model Eudoxus sebagai model sistem benda langit.

Model awal geosentris, yakni model sistem benda langit dengan Bumi sebagai pusatnya, memiliki satu kelemahan. Model ini tidak dapat digunakan untuk menjelaskan gerak balik planet. Semua planet mengalami gerak balik (retrograde), atau gerak melawan arah gerak bintang, pada waktu-waktu tertentu. Untuk menjelaskan peristiwa gerak balik planet, Ptolomeus, astronom Mesir, mengusulkan modifikasi model Eudoxus. Pada tahun 150, dia menambahkan orbit-orbit kecil (epicycle) pada orbit utama planet.[2]

Gambar 2. Konsep model geosentris Ptolomeus untuk menjelaskan gerak balik planet.

Sebenarnya, gerak balik planet dapat dijelaskan menggunakan konsep yang jauh, jauh lebih sederhana, yakni model heliosentris. Dalam model ini, Matahari merupakan pusat peredaran planet-planet, termasuk Bumi. Demikianlah anggapan Nikolas Kopernikus (1473-1543), astronom Polandia. Pandangannya ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul De Revolutionibus orbium coelestium (Peredaran Benda-Benda Langit). Kopernikus juga yakin bahwa lintasan peredaran planet berbentuk lingkaran.[3]

Gambar 3. Bagian dari De Revolutionibus orbium coelestium yang memuat model heliosentris Kopernikus. (Wikimedia Commons)[4]
Gambar 4. Ilustrasi konsep heliosentris Kopernikus untuk menjelaskan peristiwa gerak balik planet.

Model geosentris Ptolomeus merupakan model yang rumit, namun dapat digunakan untuk memprediksi secara akurat posisi benda langit. Sementara itu dibandingkan model geosentris Ptolomeus, model heliosentris Kopernikus sangat tidak akurat. Inilah sebabnya penerimaan model geosentris Ptolomeus masih sangat kuat. Toh yang dibutuhkan secara praktis yaitu manfaat suatu model untuk memprediksi posisi benda langit.

Bagaimanapun, Tycho Brahe (1546-1601), astronom Denmark, beranggapan bahwa model yang lebih sederhana lebih layak diakui daripada model yang lebih rumit. Dia berusaha membuktikan keabsahan model heliosentris Kopernikus dengan mengamati paralaks bintang, atau variasi tahunan posisi bintang. Jika memang benar bahwa Bumi mengelilingi Matahari, posisi bintang pasti akan bervariasi setiap setengah tahun secara berulang. [5]

Gambar 5. Ilustrasi konsep paralaks suatu bintang.
Gambar 6. Qvadrans Mvralis Sive Tichonicvs (Kuadran Dinding Tycho), salah satu instrumen pengamatan milik Tycho Brahe. Ilustrasi ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Astronomiae instauratae mechanica[6][7], terbitan tahun 1598. (Wikimedia Commons)[8]

Dengan instrumen pengamatan pada masanya, Tycho Brahe tidak menemukan adanya paralaks. Karena itu, dia mengusulkan kompromi antara model geosentris dan model heliosentris. Dia mengusulkan bahwa Bumi dikelilingi Matahari, yang dikelilingi planet-planet lain.[9]

Johannes Kepler (1571-1630), asisten Tycho Brahe, mengolah data-data pengamatan Tycho Brahe. Kepler menuangkan hasil kerjanya dalam bukunya yang berjudul Astronomia nova, terbitan tahun 1609.

Yang Kepler lakukan pada dasarnya mencari model yang, selain dapat menjelaskan dengan sederhana peristiwa gerak balik planet, dapat digunakan untuk secara akurat memprediksi posisi planet. Model geosentris Ptolomeus terlalu rumit, sementara model heliosentris Kopernikus tidak akurat.[10]

Gambar 7. Plot gerak balik planet Mars untuk model geosentris. Plot karya Kepler ini terdapat dalam bukunya Astronomia nova[11]. (Wikimedia Commons)[12]
Gambar 8. Sebagian dari Astronomia nova, yang menunjukkan perbandingan sistem benda langit menurut Ptolomeus, Kopernikus, dan Tycho Brahe (Wikimedia Commons)[13]

Dalam Astronomia nova, Kepler menyatakan bahwa planet-planet, termasuk Bumi, bergerak dalam lintasan elips mengelilingi Matahari, yang terletak di titik fokus elips. Kepler juga menyatakan bahwa luas daerah yang disapu vektor radius planet dari Matahari sebanding dengan waktu tempuh.

Dalam bukunya yang berjudul Harmonices Mundi (Harmoni Alam Semesta), Kepler, uniknya, berusaha menemukan pola musik dalam keteraturan benda-benda langit. Justru dari aktivitas aneh inilah Kepler menemukan hukum yang menyatakan kesebandingan antara kuadrat kala revolusi dan pangkat tiga panjang sumbu semimayor orbit suatu planet.


Generations of Gravity

Ketika belajar gravitasi, kebanyakan orang akan langsung membayangkan sosok Isaac Newton. Padahal, kajian rintisan mengenai gravitasi telah dilakukan jauh, jauh sebelum masa Isaac Newton.[14]

Brahmagupta (598-668), astronom India, berpendapat bahwa pastilah ada gaya tarik antara Matahari dan Bumi. Konsep ini dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Brahmasphuta Siddhanta. Istilah Brahmagupta untuk gaya tarik ini yaitu gruhtvaakarshan, yang bunyi dan maknanya mirip dengan istilah bahasa Inggris gravitation.

Pada abad 9, Muhammad bin Musa bin Syakir mengajukan hipotesis bahwa ada gaya tarik antara benda-benda langit. Sementara itu, Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al Biruni (973-1048), muslim Persia, juga menyebutkan adanya gaya tarik, yang menarik semua benda ke arah pusat Bumi.[15]

Abu 'Ali Hasan bin Hasan bin Al Haytsam (965-1039), sejawat Al Biruni, telah mengkaji teori gaya tarik antara benda-benda yang memiliki massa. 'Abdurrahman Al Khazini (1115-1130) berpendapat bahwa berat benda berubah seiring dengan perubahan jaraknya dari pusat Bumi.[16]

Galileo Galilei (1564-1642) menemukan bahwa benda yang jatuh bebas memiliki percepatan seragam, berapapun besar massanya. Akhirnya, Isaac Newton (1643-1727) berhasil menggunakan rumusan gaya gravitasi untuk membuktikan ketiga Hukum Kepler. Isaac Newton menuangkan konsep gaya gravitasi yang bekerja pada benda-benda langit dalam bukunya yang berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica.[17][18]

Gambar 9. Bagian depan Philosophiae Naturalis Principia Mathematica. Buku pada gambar merupakan cetakan milik Isaac Newton, lengkap dengan coretan tangan untuk keperluan cetakan edisi kedua. (Wikimedia Commons)[19]

Corroborating the Consequences

Kepler menyimpulkan bahwa planet-planet bergerak dalam lintasan elips mengelilingi Matahari yang ada pada titik fokus elips. Disimpulkan juga bahwa luas daerah yang disapu vektor radius planet dari Matahari sebanding dengan waktu tempuh. Akhirnya, disimpulkan bahwa kuadrat kala revolusi suatu planet sebanding dengan pangkat tiga panjang sumbu semimayor orbitnya.

Gambar 10. Ilustrasi ketiga Hukum Kepler. (Wikimedia Commons)[20]

Kepler telah memaparkan pola variasi besaran-besaran yang berhubungan dengan gerakan planet-planet. Namun, dia tidak memberikan suatu rumusan global, yang turunannya merupakan ketiga Hukum Kepler.[21] Rumusan global ini diberikan oleh Isaac Newton.

Mula-mula, dirumuskan bahwa antara dua benda bermassa, baik planet maupun lainnya, selalu terjadi gaya tarik. Gaya tarik ini, yang disebut gaya gravitasi, dirumuskan sebagai berikut.

\\\vec{F_g}= -G \frac{m_1 m_2}{s^2} \hat{s} \cdots\cdots \left( 1 \right)

Dalam persamaan (1), \vec{F_g} yaitu gaya gravitasi, G yaitu tetapan, m_1 dan m_2 yaitu massa kedua benda yang berinteraksi, s yaitu jarak kedua benda yang berinteraksi, dan \hat{s} yaitu vektor unit posisi benda yang ditinjau dari benda lainnya.

Rumusan lain yang akan digunakan diambil dari Hukum II Newton.

\\\vec{F}=m\frac{d^2}{dt^2}\vec{r}\cdots\cdots\left(2\right)

Dalam persamaan (2), \vec{F} yaitu gaya, m yaitu massa benda yang ditinjau, \vec{r} yaitu posisi benda yang ditinjau, dan t yaitu waktu.

Tinjaulah kasus interaksi Matahari dan sebuah planet. Massa Matahari yaitu m_1 dan massa planet yaitu m_2. Koordinat posisi Matahari yaitu \left(x_1,y_1,z_1\right) sedangkan koordinat planet yaitu \left(x_2,y_2,z_2\right). Berikut gaya yang dialami Matahari.

m_1\frac{d^2}{dt^2}\vec{r}_1=-G\frac{m_1\cdot m_2}{s^2}\hat{s}_{1,2} \\ \Rightarrow m_1\frac{d^2}{dt^2}\vec{r}_1=-G\frac{m_1\cdot m_2}{s^3}\vec{s}_{1,2}\cdots\cdots\left(3\right)

Berikut uraian lebih lanjut untuk persamaan (3).

\\\frac{d^2}{dt^2}\vec{r}_1=\hat{i}\frac{d^2}{dt^2}x_1+\hat{j}\frac{d^2}{dt^2}y_1+\hat{k}\frac{d^2}{dt^2}z_1 \cdots\cdots\left(4a\right)
\\ \vec{s}_{1,2}=\hat{i}\left(x_1-x_2\right)+\hat{j}\left(y_1-y_2\right)+\hat{k}\left(z_1-z_2\right) \cdots\cdots\left(4b\right)

Substitusi (4a) dan (4b) ke (3) akan menghasilkan tiga hubungan berikut.

\\\frac{d^2}{dt^2}x_1=-G m_2 \frac{x_1-x_2}{s^3} \cdots\cdots\left(5a\right) \\ \frac{d^2}{dt^2}y_1=-G m_2 \frac{y_1-y_2}{s^3} \cdots\cdots\left(5b\right) \\ \frac{d^2}{dt^2}z_1=-G m_2 \frac{z_1-z_2}{s^3} \cdots\cdots\left(5c\right)

Perlakuan yang sama untuk planet akan menghasilkan tiga hubungan berikut.

\\\frac{d^2}{dt^2}x_2=-G m_1 \frac{x_2-x_1}{s^3} \cdots\cdots\left(6a\right) \\ \frac{d^2}{dt^2}y_2=-G m_1 \frac{y_2-y_1}{s^3} \cdots\cdots\left(6b\right) \\ \frac{d^2}{dt^2}z_2=-G m_1 \frac{z_2-z_1}{s^3} \cdots\cdots\left(6c\right)

Untuk menyederhanakan masalah, dianggap bahwa planet bergerak mengelilingi Matahari yang diam. Dengan demikian, besaran berikut perlu didefinisikan.

\\x=x_2-x_1 & \cdots\cdots\left(7a\right) \\ y=y_2-y_1 & \cdots\cdots\left(7b\right) \\ z=z_2-z_1 \cdots\cdots\left(7c\right) \\ M=m_1+m_2 & \cdots\cdots\left(8\right)

Substitusi (7) dan (8) ke (5) dan (6) akan menghasilkan hubungan berikut.

\\\frac{d^2}{dt^2}x=-GM\frac{x}{s^3} \cdots\cdots\left(9a\right) \\ \frac{d^2}{dt^2}y=-GM\frac{y}{s^3} \cdots\cdots\left(9b\right) \\ \frac{d^2}{dt^2}z=-GM\frac{z}{s^3} \cdots\cdots\left(9c\right) 

Dari manipulasi aritmatika (9a) dan (9b) dapat dihasilkan hubungan berikut.

x\frac{d^2}{dt^2}y-y\frac{d^2}{dt^2}x=0 \\ \Rightarrow \left(x\frac{d^2}{dt^2}y+\frac{dx}{dt}\frac{dy}{dt}\right)-\left(y\frac{d^2}{dt^2}x+\frac{dy}{dt}\frac{dx}{dt}\right)=0 \\ \Rightarrow \frac{d}{dt}\left(x\frac{dy}{dt}-y\frac{dx}{dt}\right)=0 \\ \Rightarrow x\frac{dy}{dt}-y\frac{dx}{dt}=a_1 \cdots\cdots\left(10a\right)

Peubah a_1 merupakan tetapan integrasi. Dengan cara yang sama, bisa didapat hubungan berikut.

\\\Rightarrow y\frac{dz}{dt}-z\frac{dy}{dt}=a_2 \cdots\cdots\left(10b\right) \\ \Rightarrow z\frac{dx}{dt}-x\frac{dz}{dt}=a_3 \cdots\cdots\left(10c\right)

Hubungan berikut didapat dari manipulasi aritmatika (10a), (10b), dan (10c).

\\ a_1 z+a_2 x+a_3 y=0\cdots\cdots\left(11\right)

Persamaan (11) merupakan persamaan bidang datar. Berikut kesimpulan dari persamaan (11).

"Dua benda yang berinteraksi melalui gaya gravitasi akan bergerak dalam suatu bidang datar yang tetap."

Manipulasi aritmatika hubungan (9) dapat menghasilkan hubungan berikut.

\\2\frac{dx}{dt}\frac{d^2}{dt^2}x=-2\frac{GM}{s^3}x\frac{dx}{dt} \cdots\cdots\left(12a\right) \\ 2\frac{dy}{dt}\frac{d^2}{dt^2}y=-2\frac{GM}{s^3}y\frac{dy}{dt} \cdots\cdots\left(12b\right) \\ 2\frac{dz}{dt}\frac{d^2}{dt^2}z=-2\frac{GM}{s^3}z\frac{dz}{dt} \cdots\cdots\left(12c\right)

Penjumlahan (12a), (12b), dan (12c) menghasilkan hubungan berikut.

2\left(\frac{dx}{dt}\frac{d^2}{dt^2}x+\frac{dy}{dt}\frac{d^2}{dt^2}y+\frac{dz}{dt}\frac{d^2}{dt^2}z\right) \\ =-2\frac{GM}{s^3}\left(x\frac{dx}{dt}+y\frac{dy}{dt}+z\frac{dz}{dt}\right) \\ \Rightarrow \frac{d}{dt}\left[\left(\frac{dx}{dt}\right)^2+\left(\frac{dy}{dt}\right)^2+\left(\frac{dz}{dt}\right)^2\right] \\ =-\frac{GM}{s^3}\left(\frac{d}{dt}x^2+\frac{d}{dt}y^2+\frac{d}{dt}z^2\right) \\ =-\frac{GM}{s^3}\left[\frac{d}{dt}\left(x^2+y^2+z^2\right)\right] \cdots\cdots\left(13\right)

Sementara itu, diketahui adanya hubungan berikut.

\vec{s}=x\hat{i}+y\hat{j}+z\hat{k} \\ \Rightarrow s^2=\vec{s}\cdot\vec{s}=x^2+y^2+z^2 \cdots\cdots\left(14a\right)  \\ \vec{v}=\frac{d}{dt}\vec{s}=\hat{i}\frac{dx}{dt}+\hat{j}\frac{dy}{dt}+\hat{k}\frac{dz}{dt} \\ \Rightarrow v^2=\vec{v}\cdot\vec{v} \\ =\left(\frac{dx}{dt}\right)^2+\left(\frac{dy}{dt}\right)^2+\left(\frac{dz}{dt}\right)^2 \cdots\cdots\left(14b\right)

Substitusi (14a) dan (14b) ke (13) menghasilkan hubungan berikut.

\frac{d}{dt}v^2 =-\frac{GM}{s^3}\frac{d}{dt}s^2=-2\frac{GM}{s^2}\frac{ds}{dt} \\\Rightarrow v^2 =2\frac{GM}{s}+h \cdots\cdots\left(15\right)

Peubah h pada (15) merupakan tetapan integrasi.

Telah disimpulkan bahwa dua benda yang berinteraksi melalui gaya gravitasi akan bergerak dalam suatu bidang datar yang tetap. Dengan demikian untuk selanjutnya, peubah yang digunakan untuk menyatakan koordinat posisi hanya x dan y saja.

Tinjau kembali persamaan (10a) dan (15)!

\\\left(\frac{dx}{dt}\right)^2+\left(\frac{dy}{dt}\right)^2-2\frac{\mu}{s}=k_1 \cdots\cdots\left(16a\right) \\ x\frac{dy}{dt}-y\frac{dx}{dt}=k_2 \cdots\cdots\left(16b\right)

Peubah \mu sama dengan GM, sedangkan k_1 dan k_2 merupakan tetapan dari (10a) dan (15).

Dalam koordinat kutub, didefinisikan bahwa x=s\cdot\cos{\theta} dan y=s\cdot\sin{\theta}. Dalam koordinat kutub, persamaan (16a) dan (16b) menjadi seperti berikut.

\left(\frac{ds}{dt}\cos\theta-s\frac{d\theta}{dt}\sin\theta\right)^2+\left(\frac{ds}{dt}\sin\theta+s\frac{d\theta}{dt}\cos\theta\right)^2 \\ =2\frac{\mu}{s}+k_1 \\ \Rightarrow \left(\frac{ds}{dt}\right)^2+s^2\left(\frac{d\theta}{dt}\right)^2=2\frac{\mu}{s}+k_1 \cdots\cdots\left(17a\right)
s\cos{\theta}\cdot\frac{d}{dt}\left(s\sin\theta\right)-s\sin\theta\cdot\frac{d}{dt}\left(s\cos\theta\right)=k_2 \\ \Rightarrow s^2\frac{d\theta}{dt}=k_2 \\ \Rightarrow dt=\frac{s^2}{k_2}d\theta \cdots\cdots\left(17b\right)

Manipulasi aritmatika hubungan (17) menghasilkan persamaan berikut.

\\\frac{1}{s^4}\left(\frac{ds}{d\theta}\right)^2+\frac{1}{s^2}-\frac{2\mu}{{k_2}^2s}-\frac{k_1}{{k_2}^2}=0\cdots\cdots\left(18\right) 

Definisikan besaran berikut!

u=\frac{1}{s}-\frac{\mu}{{k_2}^2}\cdots\cdots\left(19\right)

Substitusi (19) ke (18) menghasilkan hubungan berikut.

\\\left(\frac{du}{d\theta}\right)^2+u^2=K^2\cdots\cdots\left(20\right)

Berikut makna peubah K^2 dalam (20).

\\K^2=\frac{\mu^2}{{k_2}^4}+\frac{k_1}{{k_2}^2}\cdots\cdots\left(21\right)

Berikut solusi persamaan (20).

\\u=K\cos\left(\theta-\omega\right)\cdots\cdots\left(22\right)

Peubah \omega yaitu tetapan integrasi. Kembali menggunakan hubungan (19), hubungan (22) dapat dinyatakan sebagai fungsi s dan \theta berikut.

\\s=\frac{{k_2}^2/\mu}{1+\cos\left(\theta-\omega\right)\sqrt{1+h{k_2}^2/\mu^2}}\cdots\cdots\left(23\right)

Hubungan (23) pada dasarnya ekivalen dengan persamaan berikut.

\\s=\frac{a\left(1-e^2\right)}{1+e\cos\nu}\cdots\cdots\left(24\right)

Persamaan (24) merupakan persamaan bidang datar irisan kerucut dalam sistem koordinat kutub. Padahal, dari empat macam bangun datar irisan kerucut, elips merupakan bentuk umum kurva tertutup. Berikut kesimpulan dari persamaan (23) dan (24).

"Dua benda yang berinteraksi melalui gaya gravitasi akan bergerak dalam suatu bidang datar irisan kerucut."

Berikut kesimpulan serupa dalam kasus planet dan Matahari.

"Planet-planet bergerak dalam lintasan elips mengelilingi Matahari yang berada di titik fokus orbit." (Hukum I Kepler)

Hubungan (17b) dapat dinyatakan sebagai berikut.

\\\tfrac{1}{2}s^2d\theta=\tfrac{1}{2}k_2 dt\cdots\cdots\left(25\right)

Ruas kiri dalam hubungan (25) merupakan luas yang disapu vektor radius planet dari Matahari.

Gambar 11. Luas daerah yang disapu vektor radius planet dalam selang waktu tertentu.

Berikut kesimpulan dari persamaan (25).

"Luas daerah yang disapu vektor radius planet dari Matahari sebanding dengan waktu tempuh." (Hukum II Kepler)

Hasil integrasi ruas kanan persamaan (25) untuk selang waktu P, atau periode revolusi planet, yaitu luas bidang elips orbit planet.

\\A=\tfrac{1}{2}k_2 P\cdots\cdots\left(26\right) 

Dari (23) dan (24), peubah k_2 dapat dinyatakan sebagai berikut.

\frac{{k_2}^2}{\mu}=a\left(1-e^2\right) \\ \Rightarrow k_2=\sqrt{a\mu\left(1-e^2\right)} \cdots\cdots\left(27\right)

Sementara itu, berikut persamaan luas elips.

\\A=\pi ab = \pi a^2\sqrt{1-e^2} \cdots\cdots\left(28\right)

Dari persamaan (26), (27), dan (28), didapat hubungan berikut.

\tfrac{1}{2}k_2 P=\pi a^2\sqrt{1-e^2} \\ \Rightarrow\tfrac{1}{4}a\mu\left(1-e^2\right) P^2=\pi^2 a^4\left(1-e^2\right) \\ \Rightarrow\frac{a^3}{P^2}=\tfrac{G}{4\pi^2}\left(m_1+m_2\right) \cdots\cdots\left(29\right)

Dalam kasus Matahari dan planet, m_1\gg m_2, sehingga \left(m_1+m_2\right)\approx m_1. Berikut kesimpulan dari hubungan (29) untuk kasus sistem Matahari dan planet-planet.

"Kuadrat kala revolusi suatu planet sebanding dengan pangkat tiga panjang sumbu semimayor orbitnya." (Hukum III Kepler)

Selesai!


Rujukan

[1] Thomas T. Arny, Explorations: An Introduction to Astronomy (New York: McGraw-Hill, 2004), hlm. 45
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 47
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/File:De_Revolutionibus_manuscript_p9b.jpg
[5] Arny, Op.Cit., hlm. 48
[6] Tycho Brahe, Astronomiae instauratae mechanica, lihat di Lehigh University Library (http://digital.lib.lehigh.edu/planets/brahe.php?num=F&exp=false<=lat&CISOPTR=404&limit=brahe&view=full)
[7] Ibid., lihat di The Dibner Library of the History of Science and Technology, Smithsonian Institution Library, http://www.sil.si.edu/DigitalCollections/HST/Brahe/brahe.htm
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Mauerquadrant.jpg
[9] Arny, Op.Cit., hlm. 49
[10] Ibid.
[11] Johannes Kepler, Astronomia nova, lihat di Rare Book Library, University of Sydney (http://www.library.usyd.edu.au/libraries/rare/modernity/kepler4.html)
[12] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Kepler_Mars_retrograde.jpg
[13] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Kepler_astronomia_nova.jpg
[14] http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_gravitational_theory
[15] Khwarizm (MuslimHeritage.com, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?TaxonomyTypeID=21)
[16] Salah Zaimeche, Merv (Manchester: FSTC Limited, 2005), hlm. 7
[17] Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, terj. Andrew Motte (http://rack1.ul.cs.cmu.edu/is/newton/)
[18] Ibid., lihat di American Libraries (http://www.archive.org/details/newtonspmathema00newtrich)
[19] http://en.wikipedia.org/wiki/File:NewtonsPrincipia.jpg
[20] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Kepler_laws_diagram.svg
[21] Winardi Sutyanto, Astrofisika: Mengenal Bintang (Bandung: Penerbit ITB, 1984), hlm. 42-50

Jumat, 05 Juni 2009

Segitiga Siku-Siku Suka-Suka Saya

Salah satu topik dalam kajian geometri bidang datar yakni teorema Phytagoras. Dalam teorema ini, disebutkan bahwa jika c sisi miring sementara a dan b dua sisi yang saling berpenyiku dalam suatu segitiga siku-siku, maka berlaku hubungan c^2=a^2+b^2.

Rumusan teorema Phytagoras telah banyak dikenal oleh hampir semua siswa pendidikan menengah. Namun, tidak semua guru mengajarkan pembuktian teorema Phytagoras.

Makalah ini berisi pembuktian teorema Phytagoras dan penerapan teorema Phytagoras untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan segitiga bukan siku-siku.


Profesionally Proven

Ada beragam cara untuk membuktikan teorema Phytagoras. Dari beragam cara tersebut, yang paling intuitif yaitu cara geometris. Tinjaulah kasus struktur geometri berikut.

Gambar 1. Bangun persegi yang tersusun atas sebuah persegi yang lebih kecil dan empat buah segitiga siku-siku.

Dalam struktur di atas, panjang sisi persegi besar yaitu \left(a+b\right), sedangkan panjang sisi persegi kecil yaitu c. Nilai c ini sekaligus merupakan panjang sisi miring setiap segitiga siku-siku. Sementara itu, panjang sisi yang saling berpenyiku dalam setiap segitiga siku-siku yakni a dan b.

Luas persegi besar sama dengan jumlah luas persegi kecil dan luas empat buah segitiga siku-siku.

\left(a+b\right)^2=c^2+4\cdot \left(\tfrac{1}{2}ab\right) \\ \Rightarrow a^2+2ab+b^2=c^2+2ab \\ \Rightarrow a^2+b^2=c^2\cdots\cdots\left(1\right)

Persamaan (1) merupakan rumusan teorema Phytagoras.


Weighing the Height

Teorema Phytagoras dapat digunakan untuk menentukan nilai besaran-besaran pada segitiga yang bukan siku-siku sekalipun. Dalam pasal ini, akan dijelaskan cara menentukan panjang garis tinggi dan garis berat segitiga sembarang.

Tinjaulah kasus segitiga sembarang berikut!

Gambar 2. Segitiga sembarang yang semua sudutnya merupakan sudut lancip.

Dalam segitiga di atas, RS merupakan garis tinggi. Garis tinggi RS membagi segitiga PQR menjadi dua segitiga siku-siku, yakni segitiga QRS dan segitiga PRS. Berikut hubungan antara garis tinggi RS dan sisi-sisi segitiga PQR.

\\RS^2=QR^2-QS^2\cdots\cdots\left(2a\right)\\RS^2=PR^2-PS^2\cdots\cdots\left(2b\right)

Dari (2a) dan (2b), dapat ditentukan hubungan berikut.

PR^2-PS^2=QR^2-QS^2 \\ \Rightarrow PR^2-PS^2 = QR^2-\left(PQ-PS\right)^2 \\ \Rightarrow PR^2=QR^2-PQ^2+2PQ\cdot PS \\ \Rightarrow PS=\frac{PQ^2+PR^2-QR^2}{2PQ}\cdots\cdots\left(3\right)

Dari (2b) dan (3), dapat ditentukan panjang garis tinggi RS.

\begin{aligned}
RS & =\sqrt{PR^2-PS^2}
\\ & =\sqrt{PR^2-\left(\frac{PQ^2+PR^2-QR^2}{2PQ}\right)^2}\cdots\cdots\left(4a\right)
\end{aligned}

Panjang garis tinggi RS dapat pula ditentukan dengan persamaan berikut, yang ekivalen dengan persamaan (4a).

RS=\sqrt{QR^2-\left(\frac{PQ^2+QR^2-PR^2}{2PQ}\right)^2}\cdots\cdots\left(4b\right)

Dari (3) dan (4a) atau (4b), dapat ditentukan panjang garis berat RT.

\begin{aligned}
RT & =\sqrt{RS^2+ST^2}
\\ & =\sqrt{RS^2+\left(PS-\tfrac{1}{2}PQ\right)^2}
\\ & =\sqrt{RS^2+PS^2-PS\cdot PQ+\tfrac{1}{4}PQ^2}
\\ & =\sqrt{PR^2-PS\cdot PQ+\tfrac{1}{4}PQ^2}
\\ & =\sqrt{PR^2-\frac{PQ^2+PR^2-QR^2}{2}+\tfrac{1}{4}PQ^2}
\\ & =\sqrt{\tfrac{1}{4}\left(2PR^2-PQ^2+2QR^2\right)}\cdots\cdots\left(5\right)
\end{aligned}

Persamaan (4a), (4b), dan (5) masih berlaku bahkan jika segitiga yang ditinjau memiliki sudut tumpul. Tinjau kasus segitiga berikut.

Gambar 3. Segitiga sembarang yang salah satu sudutnya merupakan sudut tumpul.

Dalam segitiga di atas, RS merupakan garis tinggi. Garis tinggi RS merupakan garis tinggi segitiga siku-siku QRS dan segitiga siku-siku PRS. Berikut hubungan antara garis tinggi RS dan sisi-sisi segitiga PQR.

\\ RS^2=QR^2-QS^2\cdots\cdots\left(6a\right) \\ RS^2=PR^2-PS^2\cdots\cdots\left(6b\right)

Dari (6a) dan (6b), dapat ditentukan hubungan berikut.

PR^2-PS^2=QR^2-QS^2 =QR^2-\left(PS-PQ\right)^2 \\ \Rightarrow PR^2=QR^2-PQ^2+2PQ\cdot PS \\ \Rightarrow PS=\frac{PQ^2+PR^2-QR^2}{2PQ}\cdots\cdots\left(7\right)

Persamaan (7) benar-benar sama dengan persamaan (3), sebagaimana persamaan (6a) dan (6b) sama dengan persamaan (2a) dan (2b). Dengan demikian, substitusi persamaan (7) ke persamaan (2b) akan menghasilkan persamaan yang sama persis dengan persamaan (4a). Lebih jauh lagi, maka persamaan (4b) dan (5) berlaku juga untuk segitiga sembarang yang memiliki sudut tumpul. Jika persamaan (4a), (4b), dan (5) berlaku untuk semua segitiga sembarang, maka persamaan-persamaan tersebut berlaku juga untuk segala jenis segitiga.


Divide and Conquer

Dalam suatu konstruksi sudut, dapat dibuat sebuah garis yang membagi sudut tersebut menjadi dua sudut yang lebih kecil dan sama besarnya. Garis ini disebut garis bagi sudut.

Tinjau kasus segitiga berikut!

Gambar 4. Segitiga sembarang beserta garis tinggi dan garis bagi sudutnya.

Dalam struktur di atas, garis bagi sudut RV membagi segitiga PQR menjadi segitiga PRV dan segitiga QRV. Karena besar \angle PRV dan \angle QRV sama, berlaku hubungan berikut.

\frac{PR}{PU}=\frac{QR}{QW} \\ \Rightarrow \frac{PR}{QR}=\frac{PU}{QW}\cdots\cdots\left(8\right)

Sementara itu, segitiga PUV sebangun dengan segitiga QVW. Dari hubungan ini dan (8), berlaku hubungan berikut.

\frac{PV}{PU}=\frac{QV}{QW} \\ \Rightarrow \frac{PU}{QW}=\frac{PV}{QV}=\frac{PR}{QR}\cdots\cdots\left(9\right)

Dari (9), dapat ditentukan panjang ruas PV.

PV=\frac{PV}{\left(PV+QV\right)}\cdot PQ \\ =\frac{PR}{\left(PR+QR\right)}\cdot PQ\cdots\cdots\left(10\right)

Dari teorema Phytagoras serta persamaan (3), (4a) dan (10), dapat ditentukan persamaan panjang garis bagi sudut RV.

RV=\sqrt{RS^2+SV^2} \\ =\sqrt{RS^2+\left(PV-PS\right)^2} \\ =\sqrt{RS^2+PV^2-2PV\cdot PS+PS^2} \\ =\sqrt{PR^2-X+Y}\cdots\cdots\left(11\right)
\\ X=\frac{PR}{\left(PR+QR\right)}\cdot \left(PQ^2+PR^2-QR^2\right) \\ Y=\frac{PR^2\cdot PQ^2}{\left(PR+QR\right)^2}

Persamaan (11), yang panjang itu, merupakan persamaan panjang garis bagi sudut suatu segitiga.

Jumat, 10 April 2009

Tidak Ilmiah

Kemampuan berpikir merupakan salah satu khasiat manusia. (Silakan lihat makalah Tentang Dunia.) Berpikir sendiri merupakan aktivitas yang sangat lazim sehingga seakan-akan untuk melakukannya tidak perlu "berpikir".

Tujuan berpikir yaitu mendapatkan kesimpulan. Dapat kita temukan bahwa kualitas berpikir itu beragam. Lumrahnya, makin terdidik seseorang, makin baik kualitas berpikirnya. Sementara itu, makin baik kualitas berpikir, makin baik kualitas kesimpulan. Inilah sebabnya banyak, kalau bukan semua, orang ingin belajar.

Walaupun belum tentu paham apa itu metode ilmiah, banyak yang beranggapan bahwa metode ilmiah merupakan metode paling sahih untuk mendapatkan kesimpulan. Anggapan ini bersumber dari digunakannya metode ilmiah dalam berbagai ilmu, terutama ilmu alam. Apakah memang benar bahwa metode ilmiah merupakan metode paling sahih untuk mendapatkan kesimpulan?


Scrutinizing Science

Dalam metode ilmiah, mula-mula dirumuskan apa masalah yang hendak disimpulkan. Setelah itu, diamati sejumlah peristiwa yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Peristiwa-peristiwa ini dinyatakan sebagai korelasi antara dua hal atau lebih. Kemudian, dibuatlah hipotesis untuk menjelaskan korelasi yang ditemukan. Hipotesis harus dapat diuji dan dinyatakan keliru. Selanjutnya, disusun percobaan atau pengamatan untuk menguji hipotesis. Dari pengujian, dapat disimpulkan apakah hipotesis yang dibuat dapat, atau tidak dapat, menjelaskan korelasi teramati.

Sebagai contoh yaitu masalah bentuk Bumi. Berbentuk apakah Bumi? Datarkah Bumi? Kotakkah Bumi? Untuk mengetahuinya, diamati peristiwa terbenamnya kapal di cakrawala. Korelasi yang ditemukan yaitu makin jauh kapal dari dermaga, kapal tersebut bukan hanya makin kecil, namun juga makin terbenam. Selain itu, ditemukan pula bahwa makin tinggi lintang posisi pengamatan, makin datar bidang edar harian bintang-bintang. Untuk menjelaskan dua korelasi ini, diusulkan hipotesis bahwa Bumi itu bulat. Hipotesis ini jelas dapat menjelaskan peristiwa terbenamnya kapal di cakrawala dan variasi kemiringan bidang edar harian bintang-bintang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar Bumi berbentuk bulat. Akan tetapi, tetap belum bisa dipastikan bagaimana bentuk Bumi.


Sensational Senses

Selain dengan metode ilmiah, kesimpulan juga bisa didapatkan dengan metode penginderaan. Metode ini dinamakan demikian karena memang menekankan aktivitas penginderaan. Metode ini jauh lebih sederhana, dan sebenarnya lebih mendasar, daripada metode ilmiah. Metode ini bahkan lebih sering dilakukan oleh banyak orang, namun sering tidak disadari keberadaannya karena sedemikian lumrahnya.

Dalam metode penginderaan, mula-mula dirumuskan apa masalah yang hendak disimpulkan. Kemudian, dilakukan penginderaan atas masalah yang dihadapi. Hasil penginderaan dikaitkan dengan informasi awal yang dimiliki. Pengaitan masalah dengan informasi awal akan menghasilkan kesimpulan mengenai masalah yang hendak disimpulkan.

Kembali sebagai contoh yaitu masalah bentuk Bumi. Berbentuk apakah Bumi? Datarkah Bumi? Kotakkah Bumi? Untuk mengetahuinya, dilakukan penginderaan atas permukaan Bumi. Penginderaan ini berupa penjelajahan daratan dan lautan. Hasil penjelajahan dicatat dalam bentuk peta. Selain telah memetakan seluruh daratan dan lautan, berabad-abad penjelajahan telah menunjukkan bahwa Bumi itu bulat. Inilah penginderaan tidak langsung. Hebatnya lagi, manusia telah mampu memotret Bumi dari jarak sekian jauhnya dari Bumi, cukup untuk menunjukkan bahwa Bumi itu bulat. Inilah penginderaan langsung. Baik dengan penjelajahan dan pemotretan ataupun cukup dengan salah satunya saja, bisa disimpulkan dengan pasti, sepasti-pastinya, bahwa Bumi itu bulat.


The Two Ways

Sebenarnya, metode ilmiah pun pasti melibatkan penginderaan. Dalam metode ilmiah, yang diindera yaitu korelasi antara dua hal atau lebih serta kesesuaian hipotesis dengan korelasi teramati. Jadi pada dasarnya, metode ilmiah merupakan turunan dari metode penginderaan. Dalam makalah ini, keduanya dibedakan karena kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan metode penginderaan, walaupun sering melakukannya.

Perbedaan antara metode penginderaan dan metode ilmiah yaitu pembuatan hipotesis dan apa yang diindera. Metode penginderaan sama sekali tidak melibatkan hipotesis, sementara hipotesis merupakan bagian tidak terpisahkan dari metode ilmiah. Dalam metode penginderaan, yang diindera yaitu masalah yang hendak disimpulkan. Jadi, hasil dari metode penginderaan yaitu kepastian pengetahuan atau ketidaktahuan. Sementara itu dalam metode ilmiah, yang diindera yaitu korelasi antara dua hal atau lebih serta kesesuaian hipotesis dengan korelasi teramati. Dengan demikian, hasil dari metode ilmiah yaitu kemungkinan mengenai sesuatu berdasarkan hipotesis terkait. Metode ilmiah tidak akan pernah dapat digunakan untuk memastikan sesuatu, meskipun dapat digunakan untuk memperbesar kemungkinan mengenai suatu hal. Dengan metode ilmiah saja, hipotesis tidak akan pernah dapat dibuktikan, melainkan hanya diperkuat terus-menerus.

Idealnya, memang sebaiknya kesimpulan, atau pengetahuan, didapat menggunakan metode penginderaan. Metode ilmiah digunakan karena adanya kesulitan dalam mengindera masalah yang akan disimpulkan. Dalam masalah bentuk Bumi, kesulitan penjelajahan atau pemotretan Bumi dihindari dengan mengindera korelasi antara jarak kapal dari dermaga dan makin terbenamnya kapal di cakrawala. Jelas bahwa penginderaan terbenamnya kapal merupakan hal yang jauh, jauh, sangat jauh lebih mudah dilakukan daripada penjelajahan atau pemotretan Bumi. Harga yang harus dibayar dari pemudahan penginderaan ini yaitu ketidakpastian kesimpulan pengetahuan.

Pada dasarnya, tidak ada yang lebih baik diantara metode penginderaan dan metode ilmiah. Keduanya saling melengkapi. Metode penginderaan memang mampu menghasilkan kesimpulan yang bersifat pasti yang dibatasi oleh cakupan penginderaan yang dilakukan, namun metode ilmiah dapat digunakan untuk memandu usaha penginderaan. Biasanya, metode ilmiah digunakan ketika teknologi penginderaan belum memadai.

Meskipun diantara metode penginderaan dan metode ilmiah tidak ada yang lebih baik, namun ada hal tertentu yang tidak layak dipecahkan dengan metode ilmiah, yakni perkara akidah, atau keimanan. Ini karena akidah mensyaratkan kepastian. Tidak boleh ada ketidakpastian dalam akidah meskipun kadarnya sangat, sangat renik. Akidah harus 100% benar. Inilah sebabnya hanya metode penginderaan yang layak digunakan untuk membina akidah. Tidak boleh ada hipotesis dalam pembinaan akidah; hanya penginderaan yang boleh dilakukan untuk membina akidah. (Tentang metode mantiq, metode lain yang lebih rendah kualitasnya dari metode ilmiah namun sering digunakan untuk membina akidah, silakan lihat makalah Percaya Nggak.)

Jumat, 03 April 2009

Islam Tidak Demokratis

Wah, cukup menyengat bukan judul tulisan ini? Ada banyak pihak yang mengatakan bahwa Islam itu domokratis, atau bahwa demokrasi itu Islami. Alasan yang sering dilontarkan yaitu bahwa Islam dan demokrasi memiliki ajaran musyawarah.

Dalam tulisan ini, ditunjukkan bahwa Islam itu sama sekali tidak demokratis, dan bahwa demokrasi itu sama sekali tidak Islami. Makna demokrasi itu lebih dari sekedar usaha menyelesaikan masalah dengan musyawarah.


Systemizing the Systems

Biasanya, dikatakan bahwa ada dua macam sistem pemerintahan di dunia, yakni demokrasi dan monarki. Sebenarnya, ada sistem ketiga, yakni sistem pemerintahan kekhilafahan. Sistem pemerintahan kekhilafahan sama sekali berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi ataupun monarki. (Paparan rinci mengenai sistem pemerintahan khilafah tidak akan dibahas dalam tulisan ini.)


Polemizing the Politics

Segala macam sistem pemerintahan tentu memiliki aspek-aspek praktis. Dari sekian banyak aspek praktis ini, bisa jadi ada beberapa aspek praktis dari suatu sistem pemerintahan yang serupa dengan aspek praktis sistem pemerintahan lain. Bentuk aspek-aspek praktis ini tidak akan pernah lepas dari aspek-aspek filosofis yang melandasi suatu sistem pemerintahan. Dengan demikian aspek-aspek filosofislah yang sebaiknya digunakan untuk membandingkan satu sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang lain.

Aspek filosofis pertama yaitu kedaulatan, atau otoritas penentuan standard benar-salah. Ini penting karena memang suatu sistem pemerintahan dibuat untuk mengatur masyarakat. Standard benar-salah dibutuhkan untuk mewujudkan keteraturan. Sebagai contoh, di Indonesia, telah ditentukan bahwa masa jabatan kepala negara yaitu lima tahun. Setelah berakhir masa jabatan kepala negara, harus diadakan suatu mekanisme untuk menentukan dan mengangkat kepala negara baru. Perkara seperti keharusan mengganti pemimpin secara berkala bukanlah perkara teknis, yang solusinya cukup sains dan teknologi; ini merupakan perkara non-teknis yang solusinya yaitu aturan, atau ketetapan, yang merupakan standard benar-salah. Tentang perkara teknis dan non-teknis serta solusinya, silakan lihat Tentang Manusia.

Aspek filosofis kedua yaitu kekuasaan, atau otoritas penerapan standard benar-salah. Ini penting karena adanya standard benar-salah saja tidak cukup. Adanya standard benar-salah tidak berarti apapun kalau tidak diterapkan. Masalahnya yaitu siapa yang dianggap berkuasa untuk menerapkan aturan, atau standard benar-salah.

Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Ini karena rakyatlah yang pada dasarnya menentukan standard benar-salah. Sementara itu, kekuasaan juga berada di tangan rakyat. Rakyat jugalah yang memerintah mereka sendiri.[1] Padahal, pemerintahan yang dijalankan oleh semua rakyat tentu merupakan hal yang sulit dilakukan, kalau bukan mustahil. Karena itu, dibuatlah lembaga perwakilan rakyat.[2] Idealnya, rakyatlah yang menunjuk siapa-siapa yang menjadi wakil rakyat dalam lembaga tersebut. Dengan demikian, secara praktis, rakyat menyerahkan kekuasaan mereka pada orang-orang tertentu, yakni para wakil rakyat. Lebih jauh lagi, secara praktis, rakyat pun menyerahkan kedaulatan mereka pada para wakil rakyat tadi. Dalam perkembangannya, lembaga wakil rakyat ini kemudian dipecah menurut fungsi-fungsi tertentu, yakni lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif.[3] Lembaga legislatif merupakan lembaga yang terutama memegang amanat kedaulatan rakyat, lembaga eksekutif merupakan lembaga yang terutama memegang amanat kekuasaan rakyat, sementara lembaga yudikatif merupakan lembaga yang memegang amanat pengawasan atas pelaksanaan kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Inilah gambaran mengenai demokrasi.

Dalam monarki, kedaulatan berada di tangan kepala negara, yang biasanya disebut raja, ratu, atau kaisar. Individu tersebutlah yang menentukan standard benar-salah bagi masyarakat yang dipimpinnya.[4] Memang kepala negara monarki bisa saja membentuk lembaga penasihat atau lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, otoritas membuat aturan tetap berada pada diri kepala negara. Pun kekuasaan berada sepenuhnya di tangan kepala negara. Dialah yang berkuasa untuk menerapkan aturan yang berasal darinya. Kepala negara monarki juga berkuasa untuk menentukan siapa yang berhak menerima kekuasaan setelah dirinya. Ada banyak cara seseorang dapat memiliki kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Bisa jadi orang tersebut memang dikehendaki rakyat untuk memegang kedaulatan dan kekuasaan, atau orang tersebut memaksa rakyat dengan kekuatan yang dimilikinya, seperti dengan kekuatan militer atau ekonomi.

Itu tadi gambaran sistem demokrasi dan monarki. Berikut gambaran sekilas sistem pemerintahan khilafah, atau sistem pemerintahan Islam.

Dalam kekhilafahan, kedaulatan berada di tangan pembuat syariat. Hanya Pencipta yang berhak menentukan standard benar-salah. Sementara itu, kekuasaan berada di tangan umat. Secara praktis, umat menyerahkan kekuasaan yang ada pada mereka pada khalifah, atau kepala negara. Merupakan hal yang perlu dicermati yaitu bagaimana khalifah ditentukan dan diangkat. Mekanisme penentuan khalifah merupakan aspek praktis yang diserahkan ke umat. Umat bisa saja menentukan secara langsung siapa khalifah melalui pemilihan umum, atau menyerahkan urusan ini ke lembaga perwakilan umat. Sementara itu, mekanisme pengangkatan khalifah hanya satu, yakni ikrar pengangkatan, atau ikrar penyerahan kekuasaan umat pada khalifah untuk menerapkan syariat Islam atas umat, dan bukan untuk membuat standard benar-salah. Mengenai sejauh mana keterlibatan umat dalam ikrar baiat pengangkatan, itu juga merupakan aspek praktis yang diserahkan pada umat.


Denouncing Democracy

Sederhananya, demokrasi haram karena merupakan buatan manusia. Namun, perlu diingat bahwa karya manusia itu meliputi dua hal, yakni perkara teknis (teknik bertahan hidup) dan perkara non-teknis (interaksi antarmanusia). (Tentang dua macam perkara ini, silakan lihat Tentang Manusia.) Perkara teknis dapat diselesaikan dengan akal, namun perkara non-teknis harus diselesaikan dengan aturan dari Pencipta.

Demokrasi bukan perkara teknis. Dalam demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Padahal, dalam Islam, kedaulatan hanya ada di tangan Pencipta. Manusia hanya berkuasa untuk menerapkan aturan yang sudah ada, bukan membuat sendiri aturan. Inilah alasannya, secara lebih mendalam, dikatakan bahwa Islam dan demokrasi itu pada dasarnya dua hal yang sangat kontras.


Exacerbating Examples

Ada kalangan yang berpendapat bahwa proses pengangkatan sejumlah khalifah melalui proses rapat atau pemilihan langsung menunjukkan bahwa didalam Islam pun terkandung ajaran-ajaran demokrasi. Benarkah demikian?

Kejadian pemilihan khalifah bukanlah contoh penerapan demokrasi. Yang terjadi hanyalah aspek teknis, yakni cara menentukan khalifah. Dalam sejarah Islam, dapat dijumpai bahwa cara menentukan khalifah banyak ragamnya, dari perundingan oleh suatu majelis, survey atas umat, hingga pemaksaan oleh rezim penguasa. Sementara itu, aspek filosofis khilafah, sejak masa khalifah pertama hingga terakhir, tidak pernah berubah dan sama sekali berbeda dengan sistem republik atau demokrasi. Inti demokrasi bukan keterwakilan saja, tetapi juga berdaulat dan berkuasanya rakyat.

Dalam Islam, memang dikenal adanya lembaga perwakilan rakyat, atau yang dikenal dengan istilah majelis umat. Namun, majelis umat tidak menjalankan fungsi legislatif, atau pembuatan standard benar-salah. Fungsi yang dijalankan oleh majelis umat yaitu kontrol dan nasihat atas penerapan Islam. Memang adakalanya majelis umat tidak berfungsi atau bahkan ditiadakan, namun majelis umat tidak pernah membuat standard benar-salah.[5][6][7][8]

Ada juga yang berpendapat bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang dijalankan oleh peradaban Islam dulu yaitu sistem kerajaan. Benarkah demikian?

Telah dipaparkan bahwa dalam sistem kerajaan, kedaulatan dan kekuasaan berada sepenuhnya di tangan kepala negara. Kepala negara merupakan pihak yang berhak menentukan standard benar-salah sekaligus menerapkannya dalam pemerintahan. Kepala negara juga berhak mengalihkan kekuasaan pada pihak yang dikehendakinya, seperti putera mahkota. Adanya lembaga penasihat pada dasarnya tidak mengurangi kedaulatan dan kekuasaan kepala negara suatu kerajaan.

Ada dua lembaga yang secara praktis mencerminkan sistem apa yang digunakan oleh suatu institusi negara, yakni lembaga peradilan dan lembaga penguasa. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak masa Rasulullah ﷺ hingga saat Dawlah Khilafah Islamiyyah jatuh ke tangan penjajah pada tahun 1918, para hakim telah menyelesaikan segala perkara berdasarkan syariat Islam. Pun para penguasa Islam, sepanjang masa Dawlah Khilafah Islamiyyah, selalu mengatur aspek kemasyarakatan, ekonomi, pengajaran, politik dalam dan luar negeri, serta aspek kekuasaan berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejak masa Rasulullah ﷺ hingga akhir masa Dawlah Khilafah Islamiyyah, syariat Islamlah yang digunakan untuk mengatur kehidupan warganegara Dawlah Khilafah Islamiyyah.[9][10][11]

Dua masalah yang kerap terjadi dalam peradaban Islam, terutama setelah masa Khulafa' Ar Rasyidin, yaitu kemaksiatan penguasa dan pemaksaan penyerahan kekuasaan. Kemaksiatan penguasa nampak pada rusaknya kepribadian penguasa, keluarganya, atau pejabat-pejabatnya. Sementara itu, pemaksaan penyerahan kekuasaan nampak pada dipaksanya ulama atau umat membaiat keturunan penguasa sebagai penguasa baru, baik dengan tekanan fisik maupun dengan tekanan pemikiran melalui pemalsuan dalil. Tentu saja baik kemaksiatan penguasa maupun pemaksaan penyerahan kekuasaan merupakan perkara serius. Namun demikian, adanya dua masalah tadi dalam peradaban Islam sama sekali tidak menunjukkan bahwa peradaban Islam berbentuk kerajaan.[12][13] Ketika dua masalah serius tadi terjadi dalam peradaban Islam, pergaulan Islam masih terjaga, ekonomi Islam masih tegak, pengajaran Islam masih berlangsung, dakwah dan jihad masih dilaksanakan, serta baiat masih diperlukan untuk mengangkat khalifah. Bentuk pemerintahan peradaban Islam zaman dulu bukan kerajaan.


Rujukan

[1] 'Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya (Ad Dimuqaratiyyatu Nizhamu Kufrin Yahrumu Akhdzaha aw Tathbiqiha aw Ad Da'wata Ilayha), terj. Muhammad Shiddiq Al Jawi, hlm. 6-7, 10, 13, 59-60
[2] Ibid., hlm. 7-8, 14
[3] Ibid., hlm. 11
[4] Ibid., hlm. 10
[5] 'Abdul Aziz Al Badri, Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa (Al Islam bayna Al 'Ulama wa Al Hukkam), terj. Munirul Abidin (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 6-7
[6] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual (Singapore: Penerbit Lisan Ul-Haq, 1998), hlm. 226-227
[7] Taqiyuddin An Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham Al Islam), terj. Abu Amin dkk. (Bogor: Pustaka Thariqul 'Izzah, 2003), hlm. 68-69
[8] Zallum, op.cit., hlm. 83
[9] Abdurrahman, op.cit., hlm. 21-24
[10] Al Badri, op.cit., hlm. 3-7
[11] An Nabhani, op.cit., hlm. 63-69
[12] Al Badri, op.cit., hlm. 7-12
[13] An Nabhani, op.cit., hlm. 69-70, 74-79