Kamis, 19 Juni 2008

Terpaksa Sukarela

Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, selalu diajarkan pada saya (dan siswa-siswa muslim lainnya) konsep qadha' dan qadar. Guru-guru selalu mengatakan bahwa qadha' yaitu ketetapan Allah sebelum terjadi, sedangkan qadar yaitu ketetapan Allah setelah terjadi. Qadha' tidak dapat diubah sementara qadar dapat diubah. Saya bingung.

Mengapa ada ketetapan setelah terjadi? Bukankah kejadian merupakan ketetapan? Lalu mengapa ada "ketetapan" yang bisa diubah?

Syukurlah kini saya tidak bingung lagi. Dalam makalah ini, akan saya jelaskan seluk-beluk masalah qadha' dan qadar.


Hick History

Pada masa sahabat, tidak ada pembahasan masalah qadha' dan qadar. Masalah ini baru muncul pada masa tabi'in.[1][2] Pada masa itu melalui serangkaian penaklukan, wilayah Islam meluas hingga mencapai daerah-daerah yang penduduknya terutama Kristen, Yahudi, atau Persia. Melalui penduduk-penduduk non-muslim inilah kaum muslim berkenalan dengan metode mantiq serta pembahasan filsafat Yunani.[3][4]

Salahsatu masalah filsafat Yunani yang dibahas dalam perdebatan filsafat yaitu apakah manusia dipaksa berbuat atau tidak. Masalah ini dinamai masalah qadha' dan qadar, atau jabar (paksaan) dan ikhtiyar (usaha), atau hurriyatu al iradah (kebebasan berkehendak).[5][6]

Dari kaum muslim, muncul kelompok Mu'tazilah yang menanggapi isu perbuatan manusia menggunakan metode mantiq.[7] Berikut pendapat mereka.[8][9][10]

"Manusia, apabila mereka melakukan kejahatan, disebut jahat. Jika melakukan kezaliman, mereka disebut zalim. Keadilan merupakan sifat Allah, sedangkan kezaliman dan kejahatan harus dinafikan dari-Nya."
"Allah sesungguhnya tidak menghendaki keburukan dan tidak pernah memerintahkan keburukan."
"Allah tidak menciptakan perbuatan manusia, baik yang berupa kebaikan maupun keburukan. Manusia bebas berkehendak. Manusialah yang menciptakan perbuatannya. Manusia diberi pahala karena berbuat baik dan disiksa karena berbuat buruk."
"Kami memandang bahwa zat yang menghendaki kebaikan merupakan zat yang baik. Zat yang menhendaki keburukan merupakan zat yang buruk. Zat yang menghendaki keadilan merupakan zat yang adil. Zat yang menghendaki kezaliman merupakan zat yang zalim. Bila kehendak (iradah) Allah berkaitan dengan dunia, maka kebaikan dan keburukan juga dikehendaki Allah sehingga zat yang menghendakinya disifati dengan baik, buruk, adil, dan zalim sekaligus. Padahal, ini mustahil terjadi. Jadi, Allah sebenarnya menghendaki perbuatan baik terjadi dan menghendaki perbuatan buruk tidak terjadi. Jika suatu perbuatan tidak baik dan tidak buruk, Allah tidak menghendakinya dan tidak pula memaksakannya."

Lebih jauh lagi, Mu'tazilah berpendapat mengenai hasil perbuatan. Berikut pendapat Basyar bin Mu'tamir, tokoh Mu'tazilah Baghdad.

"Apa saja yang menjadi hasil dari perbuatan semuanya tertakluk pada manusia. Bila saya membuka kelopak mata seseorang, lalu orang tersebut melihat sesuatu, maka dia melihat sesuatu karena saya. Warna makanan yang kita buat, termasuk rasa dan aromanya, pun juga tertakluk pada manusia. Demikian pula dengan sakit, nikmat, sehat, syahwat, semuanya tertakluk pada manusia."

Berikut pendapat Abu Huzail Al Allaf, salah seorang tokoh Mu'tazilah.

"Ada dua kelompok hasil perbuatan. Hasil perbuatan yang diketahui cara mendapatkannya tertakluk pada manusia. Jika tidak, maka hasil perbuatan tersebut tidak tertakluk pada manusia. Rasa sakit akibat pukulan atau meluncurnya batu karena dilemparkan merupakan hasil perbuatan yang tertakluk pada manusia. Sementara itu, warna, rasa, panas, dingin, basah, kering, takut, berani, lapar, atau kenyang, semuanya merupakan perbuatan Allah."

Sebagai tanggapan atas pendapat Mu'tazilah, muncul kelompok Jabariyah, yang juga menggunakan metode mantiq. Pendapatnya berlawanan dengan Mu'tazilah.[11][12][13]

"Manusia itu dipaksa dan tidak memiliki kebebasan kehendak. Manusia juga tidak memiliki kemampuan menciptakan perbuatannya. Dia seperti bulu yang mengikuti angin atau kayu yang mengapung mengikuti riak air. Allah menciptakan semua perbuatan sesuai kekuasaan-Nya."
"Kami berpendapat jika manusia menciptakan perbuatannya sendiri, maka kekuasaan Allah akan terbatas sehingga kekuasaan-Nya tidak meliputi segala sesuatu. Akhirnya, manusia menjadi sekutu Allah dalam menciptakan isi dunia. Padahal, dalam satu hal, tidak mungkin bergabung dua kekuasaan. Jika kekuasaan Allah telah menciptakan, manusia tidak memiliki tempat di sana. Jika kekuasaan manusia telah menciptakan, Allah tidak memiliki tempat di sana."

Rupanya, pertentangan antara Mu'tazilah dan Jabariyah mendapat tanggapan. Muncul kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Kelompok ini berusaha mengompromikan pendapat Mu'tazilah dan Jabariyah.[14][15][16]

"Manusia memiliki perbuatan-perbuatan yang dapat dipilih, baik yang dikerjakan maupun tidak, yang ia mendapat pahala jika taat dan siksa jika berbuat maksiat."
"Yang menciptakan perbuatan manusia yaitu Allah. Kekuasaan dan kehendak manusia meliputi sebagian dari perbuatan-perbuatan dan tidak meliputi sebagian yang lain. Allah merupakan pencipta segalanya, sedangkan manusia yang mengusahakannya."
"Perbuatan, dari segi penciptaan awal, tertakluk pada Allah, sedangkan dari segi usaha, tertakluk pada manusia sendiri."

Inilah gambaran masalah qadha' dan qadar yang dibahas menggunakan metode mantiq. Membingungkan bukan? Untuk membuat kesimpulan, mereka membuat premis-premis yang bahkan berkaitan dengan sifat Allah yang tidak terjangkau akal. Padahal, sifat Allah tidak dapat dianalogikan dengan sifat manusia. (Tentang kelemahan metode mantiq dalam pembinaan akidah, silakan baca makalah Percaya Nggak.)


Fabulous Facts

Rupanya dalam Al Qur'an, tidak pernah frasa "qadha' dan qadar" digunakan untuk menyatakan suatu masalah tertentu. Al Qur'an memang memuat kata qadha' atau qadar dan berbagai turunannya, namun tidak pernah keduanya disandingkan untuk menyatakan makna tertentu. Makna kata qadha' atau qadar dalam Al Qur'an pun sama sekali tidak bermakna bahwa manusia dipaksa berbuat atau tidak serta hasil perbuatan tertakluk pada siapa.

Berikut contoh ayat-ayat dalam Al Qur'an yang memuat kata qadha' atau turunannya.

و إذا قـضـى أمـرا فـإنـمـا يـقـول لـه و كـن فـيـكـون (الـبـقـرة: ١١٧)
" ... dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah!", maka jadilah." (Al Baqarah ayat 117)
هـو الـذي خـلـقـكـم مـن طـيـن ثـم قـضـآى أجـلا (الأنـعـام: ٢)
"Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan ajal ... " (Al An'am ayat 2)
و قـضـاى ربـك ألا تـعـبـد إلا إيـاه (الإسـراء: ٢٣)
"Dan telah memerintahkan Tuhanmu janganlah kamu menyembah selain Dia ... " (Al Isra ayat 23)
و مـا كـان لـمـؤمـن و لا مـؤمـنـة إذا قـضـى الله و رسـولـه و أمـرا أن يـكـون لـهـم الـخـيـرة مـن أمـرهـم (الأحـزاب: ٣٦)
"Dan tidak patut bagi mukmin laki-laki dan tidak patut pula bagi mukmin perempuan bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka ... " (Al Ahzab ayat 36)
فـقـضـا هـن سـبـع سـمـاوات (فـصـلـت: ١٢)
"Maka Dia menjadikannya tujuh langit ... " (Fushshilat ayat 12)
و لـكـن لـيـقـضـي الله أمـرا كـن مـفـعـولا (الأنـفـل: ٤٢)
" ... akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti Dia lakukan ... " (Al Anfal ayat 42)
و قـضـي الأمـر (الـبـقـرة: ٢١٠)
" ... dan diputuskanlah perkaranya ... " (Al Baqarah ayat 210)
و كـان أمـرا مـقـضـيـا (مـريـم: ٢١)
" ... dan hal itu merupakan suatu perkara yang sudah diputuskan." (Maryam ayat 21)

Berikut contoh ayat-ayat dalam Al Qur'an yang memuat kata qadar atau turunannya.

الـذي خـلـق فـسـواى و الـذي قـدر فـهـداى (الأعـلاى: ٢-٣)
"Dialah yang menciptakan dan menyempurnakan, menentukan kadar lalu memberi petunjuk." (Al A'la ayat 2-3)
و قـدر فـيـهـآ أقـواتـهـا (فـصـلـت: ١٠)
" ... dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanannya ... " (Fushshilat ayat 10)
إنـه و فـكـر و قـدر فـقـتـل كـيـف قـدر ثـم قـتـل كـيـف قـدر (الـمـدثـر: ١٨-٢٠)
"Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan, maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?" (Al Muddatstsir ayat 18-20)
نـحـن قـدرنـا بـيـنـكـم الـمـوت (الـواقـعـة: ٦٠)
"Kami telah menentukan kematian di antara kamu ... " (Al Waqi'ah ayat 60)
و قـدرنـا فـيـهـا الـسـيـر (سـبـاء: ١٨)
" ... dan Kami tetapkan di antara negeri-negeri itu (jarak) perjalanan ... " (Saba ayat 18)
و قـدره و مـنـازل (يـونـس: ٥)
" ... dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan itu ... " (Yunus ayat 5)
و الله يـقـدر الـيـل و الـنـهـار (الـمـزمـل: ٢٠)
" ... Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang ... " (Al Muzzammil ayat 20)

Dari berjibun ayat di atas, dapat kita lihat bahwa baik qadha' maupun qadar memiliki banyak makna. Makna qadha' selalu berhubungan dengan ketetapan atas suatu kejadian. Sementara itu, makna qadar selalu berhubungan dengan penentuan kadar sesuatu. Lalu mengapa para ahli kalam membahas masalah "qadha' dan qadar" yang mempertanyakan apakah perbuatan manusia dipaksakan atau tidak? Ada apa ini?

مـا أصـاب مـن مـصـيـبـة فـي الأرض و لا فـي أنـفـسـكـم إلا في كـتـاب مـن قـبـل أن نـبـرأهـا إن ذلـك عـلـى الله يـسـيـر (الـحـديـد: ٢٢)
"Tidak ada bencana yang menimpa Bumi dan dirimu melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Al Mahfuzh) sebelum kami melaksanakannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah." (Al Hadid ayat 22)
لا يـعـزب عـنـه مـثـقـال ذرة فـي الـسـمـاوات و لا فـي الأرض و لا أصـغـر مـن ذلـك و لا أكـبـر إلا فـي كـتـاب مـبـيـن (سـبـأ: ٣)
" ... Tidak tersembunyi dari-Nya sebesar dzarrah yang ada di langit dan Bumi. Tidak ada yang lebih kecil dari itu dan tidak pula ada yang lebih besar melainkan telah ada dalam kitab yang jelas (Lauh Al Mahfuzh)." (Saba ayat 3)

Ayat-ayat di atas memang menunjukkan Allah itu Maha Tahu. Meskipun demikian dalam ayat-ayat di atas, sama sekali tidak ada kabar yang menerangkan hubungan antara ilmu Allah dan perbuatan manusia selain bahwa Allah pasti mengetahuinya. Ayat-ayat di atas sama sekali tidak mengandung makna yang serupa dengan makna permasalahan "qadha' dan qadar" seperti yang dibahas Mu'tazilah, Jabariyah, atau Ahlus Sunnah wal Jama'ah.


Sensuous Senses

Masalah perbuatan manusia dan hasilnya sebenarnya tidak serumit seperti yang dibahas para ahli kalam. Kerumitan timbul karena dilakukan pencampuran antara pembahasan perbuatan Allah dengan perbuatan manusia dan khasiat makhluk. Padahal, perbuatan Allah itu di luar jangkauan akal manusia. Tidak ada gunanya membahas perbuatan Allah; itu sama saja dengan membahas apa yang ada sebelum alam semesta ada. Lagipula, sejak awal yang dibahas dalam masalah qadha' dan qadar yaitu perbuatan manusia. Cukuplah kalau yang dibahas perbuatan dan khasiat manusia saja.

Baik perbuatan maupun khasiat makhluk sama-sama merupakan hal yang dapat diindera manusia. Karena itu, masalah ini sebenarnya dapat diselesaikan cukup dengan berpikir.

Manusia hidup dalam dua wilayah. Wilayah pertama dikuasai manusia, sedangkan wilayah kedua di luar kuasa manusia. Di wilayah pertama, manusia mampu memilih. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas wilayah yang pertama. Wilayah kedua, baik manusia sukai atau tidak, merupakan ketentuan dari Allah sehingga tidak ada pertanggungjawaban atasnya. Manusia tidak punya pilihan selain menerima ketentuan Allah. Selesai perkaranya.

Contoh wilayah yang dikuasai manusia yaitu saya memilih untuk menulis makalah tentang qadha' dan qadar. Saya juga memilih untuk mengusahakan agar judul makalah ini menarik. Kemudian saya memilih menggunakan blog untuk memudahkan orang-orang membaca makalah saya. Anda sekalian yang memilih untuk membaca makalah ini mungkin akan memilih untuk berusaha keras memahami isi makalahnya. Pada akhirnya, Anda memilih untuk sepakat atau tidak dengan pandangan saya.

Contoh wilayah di luar kuasa manusia yaitu makalah ini selesai. Ingat bahwa selalu ada kemungkinan makalah ini tidak selesai! Menarik atau tidaknya judul makalah ini juga di luar kuasa saya. Saya juga tidak berkuasa untuk memastikan semua orang membaca makalah saya. Pun Anda sekalian yang membaca makalah ini paham atau tidak pada isinya bukan dalam kuasa saya.

Tunggu sebentar! Dari mana kita tahu bahwa Allahlah yang menentukan hasil perbuatan manusia? Allah merupakan pencipta dunia. Dia merupakan pihak yang memaksa dunia menerima hukum-hukum-Nya. Selain itu, Allah telah menyatakan dalam Al Qur'an bahwa Dialah yang menetapkan berbagai hal. Hanya Allah yang Maha Ada dan Maha Kuasa.

Khasiat makhluk pun bukan dalam kuasa manusia. Manusia hanya bisa memanipulasi dunia sesuai hukum-hukum alam, bukan membuat hukum alam. Manusia tidak punya andil sama sekali dalam khasiat makhluk. Manusia hanya diminta menggunakan khasiat makhluk sesuai aturan main Allah.


Designed Destiny

Oke, jadi Allah-lah yang menentukan hasil perbuatan. Perbuatan manusia tidak dapat memastikan hasil perbuatan sesuai keinginan. Kalau begitu, mungkinkah kita mendapat hasil yang kita inginkan tanpa berusaha? Itu mungkin. Selalu ada kemungkinan berhasil tanpa berusaha, tapi kemungkinannya kecil, kecil, kecil sekali; perbuatan manusia merupakan hal yang memperbesar peluang tercapainya keberhasilan. Makin keras usaha, makin besar peluang berhasil, namun tetap saja belum tentu keberhasilan tercapai.

Jadi, seberapa besar penerimaan masyarakat terhadap Islam bukan dalam kuasa manusia. Yang dalam kuasa manusia yaitu pilihan untuk diam atau berusaha keras menyampaikan Islam.

Apakah saat ini manusia hidup sejahtera atau sengsara juga bukan dalam kuasa manusia. Yang dalam kuasa manusia yaitu pilihan untuk hidup dengan aturan yang menyejahterakan atau hidup dengan aturan yang menyengsarakan.

Apakah manusia tahu atau tidak mengenai Islam pun bukan dalam kuasa manusia. Yang dalam kuasa manusia yaitu pilihan untuk belajar Islam atau acuh tak acuh terhadap Islam.

Bagi kepala rumah keluarga, apakah kebutuhan keluarga tercukupi atau tidak bukan dalam kuasanya. Yang dalam kuasanya yaitu pilihan untuk bekerja seadanya atau bekerja membanting tulang.

Bagi pelajar, bagusnya nilai bukan dalam kuasanya. Yang dalam kuasanya yaitu pilihan untuk santai atau belajar mati-matian.

Pokoknya manusia hanya bisa berusaha terus-menerus sekeras mungkin. Hasil usaha manusia sepenuhnya merupakan ketetapan Allah.

Mengenai khasiat makhluk, manusia juga terpaksa menerimanya. Tidak ada yang salah dengan tajamnya pisau. Yang jadi masalah yaitu untuk apa pisau tersebut digunakan. Juga tidak ada yang salah dengan kesetaraan antara massa dan energi yang memungkinkan dikembangkannya teknologi nuklir. Yang jadi masalah yaitu untuk apa teknologi nuklir tersebut dikembangkan.

Berpikir merupakan khasiat akal. Dengannya, manusia bisa membedakan mana benar mana salah sehingga bisa merumuskan bagaimana seharusnya dia hidup. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemanfaatan potensi akalnya.

Kebutuhan jasmani merupakan khasiat makhluk hidup. Dengannya, kelangsungan hidup manusia bisa terjaga. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas caranya memenuhi kebutuhan jasmani.

Keinginan memiliki kekayaan dan ilmu, dorongan seksual, dan keinginan memenangkan persaingan juga merupakan khasiat makhluk hidup. Dengannya, keberadaan diri dan kelangsungan jenis terjaga. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas caranya memenuhi kebutuhan naluri.

Semua benda di dunia memiliki khasiat-khasiat yang khas. Dengannya, peluang berhasil manusia bisa makin besar. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemanfaatan benda-benda di dunia.


Concrete Conclusions

Pembahasan qadha' dan qadar merupakan hal yang tidak perlu. Yang perlu dibahas yaitu bahwa hal-hal di luar kuasa manusia, disukai atau tidak, Allahlah yang menentukan dan bahwa khasiat makhluk, disukai atau tidak, juga Allahlah yang menentukan. Tak ada yang manusia bisa lakukan kecuali menerimanya.

Tapi pada kenyataannya, pembahasan qadha' dan qadar terjadi. Kalau memang dipaksa menjawab apa itu "qadha' dan qadar", saya jawab itu tidak ada artinya. Kalau qadha', merujuk pada Al Qur'an, bermakna segala hal di luar kuasa manusia, yang merupakan ketentuan Allah. Sementara qadar, juga merujuk pada Al Qur'an, bermakna khasiat makhluk.

Manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas qadha' atau qadar. Manusia hanya akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya dalam wilayah yang dalam kuasanya serta pemanfaatannya atas khasiat makhluk.

و هـديـنـاه الـنـجـديـن (الـبـلـد: ١٠)
"Dan telah Kami tunjukkan padanya dua jalan." (Al Balad ayat 10)
فـألـهـمـهـا فـجـورهـا و تـقـواهـا (الـشـمـس: ٨)
"Maka Allah mengilhamkan padanya kefasikan dan ketakwaan." (Asy Syams ayat 8)
كـل نـفـس بـمـا كـسـبـت رهـيـنـة (الـمـدثـر: ٣٨)
"Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya." (Al Muddatstsir ayat 38)

Dengan pengetahuan keberadaan wilayah dalam kuasa manusia, wilayah di luar kuasa manusia, dan khasiat makhluk, muslim seharusnya tenang dalam menjalani hidup. Muslim tidak akan terlalu cemas akan hasil. Yang muslim cemaskan yaitu sejauh mana perbuatannya untuk meraih hasil.


Rujukan

[1] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual (Singapore: Penerbit Lisan Ul-Haq, 1998), hlm. 139
[2] Muhammad Maghfur W., Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam (Bangil: Penerbit Al-Izzah, 2002), hlm. 16
[3] Abdurrahman, op.cit., hlm. 139-140
[4] Maghfur W., op.cit., hlm. 17-19
[5] Abdurrahman, op.cit., hlm. 140
[6] Maghfur W., op.cit., hlm. 18, 25
[7] Ibid., hlm. 32-35
[8] Abdurrahman, op.cit., hlm. 140-142
[9] Maghfur W., op.cit., hlm. 38-40
[10] Taqiyuddin An Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham Al Islam), terj. Abu Amin dkk. (Bogor: Pustaka Thariqul 'Izzah, 2003), hlm. 22
[11] Abdurrahman, op.cit., hlm. 142
[12] An Nabhani, loc.cit.
[13] Maghfur W., op.cit., hlm. 41-42
[14] Abdurrahman, op.cit., hlm. 142-143
[15] An Nabhani, loc.cit.
[16] Maghfur W., op.cit., hlm. 43-46

Tidak ada komentar: