Senin, 30 Juni 2008

Sumber Segala Sumber Hukum

Dalam makalah Solusi Hidup, dijelaskan bahwa segala masalah hidup harus diselesaikan dengan Islam. Kalau begitu, harus ada hal-hal yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Dalam makalah ini, akan dijelaskan apa saja sumber hukum dalam Islam.


Thought and Text

Dalam Islam, ada dua hal macam sumber hukum, atau yang biasa disebut dalil. Kedua macam dalil tersebut yaitu dalil 'aqli dan dalil naqli.

Dalil 'aqli yaitu dalil dari akal. Akal, salah satu potensi manusia, adalah kemampuan untuk mengaitkan informasi dengan fakta untuk menghasilkan kesimpulan atas fakta tersebut. Sementara itu, pada dasarnya, kesimpulan merupakan salah satu bentuk hukum. Dengan demikian, dalil 'aqli bisa digunakan untuk menghukumi sesuatu. Contoh penggunaan dalil 'aqli yaitu dalam pembinaan akidah yang berkaitan dengan fakta yang dapat diindera manusia. (Silakan lihat makalah Solusi Hidup dan Percaya Nggak.) Namun, dengan dalil 'aqli saja, kita tidak bisa menghukumi segala hal.

Akal, sebagai ciptaan Allah, memiliki keterbatasan. Dengan akal saja, manusia tidak bisa menentukan apa yang benar-benar baik atau benar-benar buruk bagi dirinya atau orang lain. Sebagai contoh, akal tidak bisa digunakan untuk menentukan bagaimana seharusnya masalah interaksi antarmanusia dipecahkan. (Silakan lihat makalah Tentang Manusia.) Nah, untuk masalah yang tidak dapat ditentukan benar-salahnya oleh akal, solusinya ditentukan dengan dalil naqli.

Dalil naqli yaitu dalil dari apa-apa yang telah Allah tentukan sebagai dalil. Ada empat macam dalil naqli, yaitu Al Qur'an, as sunnah, ijma' sahabat, dan qiyas. Dalam pasal-pasal berikut, akan dijelaskan keempat macam dalil naqli ini.


Invaluable Information

Dalil naqli yang pertama yaitu Al Qur'an. Al Qur'an adalah firman Allah kepada Muhammad, yang merupakan mukjizat bagi beliau, serta bernilai ibadah jika dibaca. Al Qur'an merupakan firman Allah. (Silakan lihat makalah Solusi Hidup.) Dengan demikian, Al Qur'an layak dan dapat dijadikan sebagai dalil.

Ada dua macam ayat dalam Al Qur'an, yakni ayat yang maknanya jelas (ayat muhkamat) dan ayat yang maknanya tidak jelas (ayat mutasyabihat). Berikut contoh ayat yang maknanya jelas.

و السـارق و السـارقـة فـقـطـعـوآ أيـديـهـمـا (الـمـاءدة: ٣٨)
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ... " (Al Ma'idah ayat 38)

Berikut contoh ayat yang maknanya tidak jelas.

يـد الله فـوق أيـديـهـم (الـفـتـح: ١٠)
" ... Tangan Allah di atas tangan mereka ... " (Al Fath ayat 10)

Kedua ayat di atas memuat kata yang maknanya "tangan". Namun, pada ayat kedua, makna "tangan" dikaitkan dengan Allah. Padahal, zat Allah di luar jangkauan akal. Hal inilah yang menjadikan makna ayat kedua tidak jelas. Untuk ayat yang sudah jelas maknanya, tentu tidak perlu kita ada-adakan lagi kajian mengenai "makna tersirat" didalamnya. Sementara itu, untuk ayat yang tidak jelas maknanya serta berkaitan dengan akidah, kita tidak boleh melakukan apapun selain menerima apa adanya, kecuali ada penjelasan pasti mengenainya. (Silakan lihat makalah Percaya Nggak.)


Licensed Life

Dalil naqli yang kedua yaitu as sunnah atau hadits. As sunnah yaitu perkataan, perbuatan, atau pembenaran dari Rasulullah ﷺ. Hadits berperan sebagai penjelas atau perinci hukum-hukum yang ada dalam Al Qur'an. Hadits, meskipun dapat dijadikan sebagai dalil, bukan mukjizat bagi Rasulullah ﷺ.

Ada pertanyaan menarik. Sebagai manusia, tentu Rasulullah ﷺ senantiasa berbuat. Akan tetapi, mengapa perkataan, perbuatan, dan pendiaman Rasulullah ﷺ dapat dijadikan dalil? Beliau memang rasul, tapi beliau manusia biasa. Manusia merupakan ciptaan yang memiliki banyak keterbatasan. Apakah kerasulan Muhammad ﷺ menjamin bahwa beliau tidak akan salah dalam menghukumi?

Perkataan, perbuatan, dan pendiaman Rasulullah ﷺ dapat dijadikan dalil karena berasal dari wahyu. Hal tersebut telah dikabarkan Allah dalam Al Qur'an.

إن هـو إلا وحـي يـحـاى (الـنـجـم: ٤)
"Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (padanya)." (An Najm ayat 4)
إن أتـبـع إلا مـا يـوحـآى إلـي (الأنـعـم: ٥٠)
" ... Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan padaku ... " (Al An'am ayat 50)
قـل إنـمـآ أتـبـع مـا يـوحـآى إلـي مـن ربـى (الأعـراف: ٢٠٣)
" ... Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan padaku dari Rabb-ku ... " (Al A'raf ayat 203)
إن أتـبـع إلا مـا يـوحـآى إلـي (يـونـس: ١٥)
" ... Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan padaku ... " (Yunus ayat 15)
إن أتـبـع إلا مـا يـوحـآى إلـي (الأحـقـاف: ٩)
" ... Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan padaku ... " (Al Ahqaf ayat 9)
قـل إنـمـآ أنـذركـم بـالـوحـي (الأنـبـيـاء: ٤٥)
"Katakanlah, "Sungguh aku hanya memberi peringatan pada kamu sekalian dengan wahyu ... "" (Al Anbiya ayat 45)

Seandainya Allah tidak mengabarkan bahwa segala perkatan, perbuatan, dan pendiaman Rasulullah ﷺ berasal dari wahyu, tentu hadits tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli.

Dengan demikian, hadits berasal dari wahyu walaupun bukan mukjizat bagi Rasulullah ﷺ. Karena bukan mukjizat, hadits dapat dipalsukan. Untuk itulah dibutuhkan suatu mekanisme penyaringan hadits. Sistem ini pada dasarnya berupa pemeriksaan perawi. Perawi yaitu pihak yang meriwayatkan suatu hadits. Harus diperiksa apakah suatu hadits periwayatannya sampai ke Rasulullah ﷺ atau tidak. Kalau riwayat suatu hadits tidak sampai ke Rasulullah ﷺ, berarti "hadits" tadi bukan hadits.

Berdasarkan periwayatannya, hadits dapat dibagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan sejumlah orang secara berkelompok meliputi masa tabi'i at tabi'in, tabi'in, dan sahabat, bersambung ke Rasulullah ﷺ. Hadits selain hadits mutawatir merupakan hadits ahad. Dari kodifikasi ini, dapat kita ketahui bahwa kedudukan hadits mutawatir sangat kuat karena pasti berasal dari Rasulullah ﷺ.

Berikut bagan pengelompokan Al Qur'an dan hadits. Sebagai catatan, riwayatlah yang dijadikan penentu apakah suatu hadits pasti dari Rasulullah ﷺ atau tidak. Kajian makna tidak bisa digunakan untuk memastikan suatu hadits dari Rasulullah ﷺ atau tidak.

Gambar 1. Bagan pengelompokan Al Qur'an dan hadits berdasarkan periwayatan dan maknanya.

Great Generation

Dalil naqli yang ketiga yaitu ijma' sahabat. Ijma' adalah kesepakatan mengenai hukum suatu fakta yang hukum tersebut merupakan hukum syara'. Ijma' sahabat yaitu ijma' dari sahabat Rasulullah ﷺ. Hukum yang ditetapkan melalui ijma' tidak diriwayatkan melalui hadits.

Ijma' bisa berupa pengungkapan pandangan, atau ijma' qawli. Bentuk ijma' ini yaitu bila para sahabat diberi suatu perkara, mereka akan menyebutkan hukum syara' atas perkara tersebut tanpa menyebutkan dalil dari Al Qur'an atau hadits, serta hukum yang mereka sampaikan seragam. Di sini, para sahabat pada dasarnya bersandar pada sesuatu yang mereka ketahui dari Rasulullah ﷺ, namun hal tersebut tidak teriwayatkan sebagai hadits.

Ijma' juga bisa berupa pendiaman, atau ijma' sukuti. Ijma' jenis ini harus memenuhi empat syarat. Pertama, perkara yang hukumnya disepakati haruslah merupakan perkara urgen dan mendesak yang pasti akan diingkari para sahabat jika bertentangan dengan syara'. Kedua, para sahabat harus mendengar pembahasan perkara yang dihukumi sehingga diamnya para sahabat bukan karena tidak tahu. Ketiga, para sahabat tidak menyampaikan suatu ayat atau hadits dalam menanggapi perkara yang akan dihukumi. Kalau ada ayat atau hadits yang digunakan, tentu yang terjadi yaitu penyandaran pada Al Qur'an atau hadits, bukan ijma'. Keempat, perkara yang dihukumi bukan perkara yang menjadi wewenang khalifah untuk menghukuminya berdasarkan pendapat atau ijtihadnya.

Para sahabat merupakan manusia biasa. Mereka juga bukan rasul. Mengapa kesepakatan mereka bisa dijadikan sebagai dalil? Jawabannya yaitu karena Allah telah menentukan demikian.

و الـسـابـقـون الأولـون مـن الـمـهـاجـريـن و َلأنـصـار و الـذيـن الـتـبـعـوهـم بـإحـسـان رضـي الله عـنـهـم و رضـوا عـنـه (الـتـوبة: ١٠٠)
"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada mereka ... " (At Tawbah ayat 100)

Seandainya tidak ada ayat di atas, ijma' sahabat tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli.


Recurring Reason

Dalil naqli yang keempat yaitu qiyas. Qiyas adalah penyerupaan hukum suatu perkara seperti hukum perkara lain karena adanya persamaan 'illat. Qiyas dapat dijadikan sebagai dalil karena pada dasarnya yang dijadikan rujukan tetap Al Qur'an, hadits, atau ijma'.

Qiyas dapat menjadi dalil jika dan hanya jika ada empat hal. Pertama, harus ada perkara yang menjadi sumber qiyas. Kedua, perkara sumber qiyas harus memiliki hukum. Ketiga, harus ada perkara yang akan di-qiyas-kan. Keempat, harus ada 'illat dalam hukum tentang perkara asal.

Syarat keempat qiyas, yaitu adanya 'illat, merupakan syarat yang boleh dibilang paling penting. 'Illat yaitu indikasi sebab ditentukannya hukum atas perkara asal. Tidak semua hukum dalam Al Qur'an atau hadits memiliki 'illat. Selain itu, untuk mengetahui 'illat, dibutuhkan pengetahuan yang memadai setidaknya dibidang bahasa Arab dan ushul fiqih (kaidah-kaidah untuk menentukan hukum-hukum syara' praktis yang digali dari dalil-dalil yang rinci).

Tidak ada komentar: